UAS KONSERVASI SPESIES



SITI ROHMAH
52165211656 (TPS-A)


UJIAN AKHIR SEMESTER
Dosen                 : Kadarusman, Ph.D
Mata Kuliah       : Biologi Konservasi
 


BAB I
KONSERVASI SPESIES


1.1  Pengertian Konservasi Spesies
Usaha konservasi mahluk hidup menggunakan berbagai pendekatan. Salah satunya adalah konservasi berbasis spesies. Spesies adalah sekelompok individu yang berpotensi untuk bereproduksi dalam satu kelompok dan tidak mampu bereproduksi dengan kelompok lain (definisi secara biologis). Definisi lain spesies adalah sekelompok individu yang mempunyai karakter morfologi, fisiologi atau biokimia berbeda dengan kelompok lain (definisi secara morfologis).
Konservasi spesies adalah jenis atau spesies makhluk hidup yang telah dikategorikan sebagai spesies yang bergantung pada upaya konservasi untuk mencegahnya dari ancaman kepunahan oleh Perhimpunan Internasional untuk Konservasi Alam. Spesies tersebut harus menjadi fokus dari program konservasi jenis/habitat tertentu yang berkelanjutan, dimana penghentian akan program tersebut akan berakibat pada dimasukkannya suatu jenis kedalam salah-satu status konservasi dari kategori terancam dalam periode lima tahun.

1.2   Tujuan Konservasi Spesies
Tujuan konservasi adalah untuk melindungi habitat atau di wilayah yang digunakan sebagai pengganti untuk spesies dikawasan itu, spesies dari habitat yang sama, jenis tingkat ini taksonomi yang berbeda dapat bekerja membentuk habitat di mana perlindungan harus terjadi (Gaston 1996).

1.3    Ikon Dalam Mempromosikan Konservasi Spesies
Dalam pendekatan konservasi berbasiskan spesies, berbagai istilah digunakan oleh para konservasionist untuk menciptakan ikon dalam mempromosikan konservasi, yaitu umbrella species, flagship species dan keystone species  (Bengen, 2002).
a.   Umbrella species
Umumnya didefinisikan sebagai spesies yang memiliki penyebaran yang luas yang membutuhkan banyak spesies lain dan spesies yang membutuhkan area yang luas sehingga perlindungan jenis ini juga melindungi hewan lain yang juga menempati daerah yang sama.
b.   Flagship species
Adalah spesies yang dipilih sebagai duta besar, ikon atau simbol untuk mendefinisikan suatu habitat, isu, kampanye atau dampak lingkungan. Dengan memfokuskan dan mengusahakan konservasi jenis ini, status dari jenis lain yang menempati habitat yang sama atau rawan menjadi ancaman yang sama juga akan menjadi lebih baik. Flagship species biasanya relatif berukuran besar, dan kharismatik dalam budaya barat contohnya panda. Rafflesia, dan jenis lainnya yang biasa dijadikan simbol di dalam lambang dsb. Flagship species bisa merupakan keystone species, atau indicator species maupun tidak sama sekali.



c.   Keystone species
Keystone species memainkan peranan yang penting di dalam struktur, fungsi atau produktifitas dari habitat atau ekosistem (habitat, tanah, dan pemencar biji, dll). Jika hilangnya jenis ini akan mengakibatkan perubahan yang signifikan atau fungsi yang salah yang bisa berefek pada skala yang lebih besar. Contohnya termasuk peranana gajah dalam memelihara struktur habitat, dan kelelawar dan serangga di dalam polinasi. Dengan memfokuskan pada keystone species, aksi konservasi dari spesies ini membantu melindungi struktur dan fungsi habitat yang luas yang berhubungan dengan spesies ini selama siklus hidupnya. Definisi lain dari keystone species adalah jenis yang jika hilang keberadaannya pada ekosistem maka akan mengakibatkan perubahan yang hebat terhadap populasi jenis lain atau proses ekosistem; serta yang memiliki fungsi yang vital dalam komunitasnya.

1.4  Konservasi Berbasis Spesies Di Indonesia
Secara Internasional, lembaga yang bergerak dalam konservasi adalah IUCN dengan memiliki komisi Species Survival Commission yang bergerak khusus di konservasi berbasis spesies dengan berbagai program dan aksi konservasinya.

IUCN (International Union for Conservation of Nature)
IUCN (International Union for Conservation of Nature) adalah lembaga yang membantu dunia untuk menumukan solusi terhadap tekanan lingkungan dalam tantangan pembangunan. Lembaga ini mendukung penelitian ilmiah, mengelola proyek penelitian lapangan di seluruh dunia dan mengajak pemerinthan, LSM, agensi PBB, perusahan dan komunitas lokal bersama-sama mengembangkan dan mengimplementasikan kebijakan, hukum dan cara terbaik

IUCN Red List
Salah satu bentuk program yang dibentuk oleh IUCN SSC adalah IUCN Red List. IUCN Redlist adalah sebuah pendekatan global dan mengevaluasi status konservasi dari jenis tumbuhan dan hewan. Tujuan dari IUCN Red List ini adalah untuk mengidentifkasi dan mendokumentasikan spesies yang sangat butuh perhatian serta menyediakan indeks global dari bentuk perubahan keanekaragaman hayati.
Dalam penilaiannya terhadap kondisi dan status jenis hewan dan tumbuhan, Red List membuat dan mengelompokkan berdasarkan status keterancaman dan kondisinya. Kategori-kategorinya yaitu Extinct (EX), Extinct in the Wild (EW), Critically Endangered (CR), Endangered (EN), Vulnerable (VU), Near Threatened (NT) dan Least Concern (LC). Bagi jenis yang kekurangan informasi tentang kondisi populasinya, dikelompokkan ke dalam Data Deficient (DD), dan bagi jenis yang belum dianalisa dimasukkan ke dalam kategori Not Evaluated (NE).

1.5    Contoh Konservasi TerhadapSpesies

  Burung Kasuari Kerdil atau Casuarius bennetti
Jumlah populasi burung Kasuari Kerdil atau Casuarius bennetti tidak diketahui secara pasti tetapi diduga mengalami penurunan populasi secara pesat. Penurunan populasi tersebut diakibatkan oleh perburuan dan rusaknya habitat. Karena itu oleh IUCN Red List burung Kasuari Kerdil dikategorikan sebagai spesies Near Threatened. Burung Kasuari ini tidak terdaftar dalam Appendix CITES. Di Indonesia, termasuk salah satu burung yang dilindungi berdasarkan PP. Nomor 7 Tahun 1999.
Bentuk kegiatan konservasi yang dapat dilakukan untuk tetap mempertahankan populasi Casuarius bennetti salah satunya melalui kegiatan penangkaran, yaitu suatu kegiatan pengembang-biakan satwa di luar habitat aslinya (eksitu). Keberhasilan kegiatan penangkaran dipengaruhi oleh beberapa aspek, antara lain bentuk kandang, kesehatan spesies dan pemberian pakan.




BAB II
KONSERVASI EKOSISTEM

2.1  Pengertian Konservasi Ekosistem
Konservasi ekosistem adalah upaya melindungi, melestarikan, dan memanfaatkan fungsi ekosistem sebagai habitat penyangga kehidupan sumberdaya ikan pada waktu sekarang dan yang akan datang (Suharsono, 1993 dalam Ramli, 2003).
2.2  Konservasi wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
Menurut UU No 27 Tahun 2007 adalah upaya perlindungan, pelestarian, dan pemanfaatan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil serta ekosistemnya untuk menjamin keberadaan, ketersediaan, dan kesinambungan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan keanekargamannya. Dalam hal ini sebagai sebuah kawasan konservasi dengan ciri khas tertentu yang dilindungi untuk mewujudkan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil secara berkelanjutan.
Lebih lanjut di dalam UU No. 27 Tahun 2007 tersebut pada. Bagian Ketiga tentang Konservasi Pasal 28 ayat (1) dikatakan bahwa Konservasi Wilayah pesisir dan Pulau-pulau kecil diselenggarakan untuk : (a) menjaga kelestarian eksositem pesisir dan pulau-pulau kecil; (b) melindungi alur migrasi ikan dan biota laut lain; (c) melindungi habitat biota; dan (d) melindungi situs budaya tradisional.
Menurut Agardy (1997) dalam Bengen (2002) bahwa sasaran utama dari penetapan kawasan konservasi di pesisir dan laut adalah untuk mengkonservasi eksositem dan sumberdaya alam, agar proses-proses ekologis disuatu ekosistem dapat terus berlangsung dan tetap dipertahakankan produksi bahan makanan dan jasa-jasa lingkungan bagi kepentingan manusia secara berkelanjutan. Untuk dapat mencapai sasaran tersebut di atas, maka penetapan kawasan konservasi di pesisir dan laut haruslah ditujukan untuk (Kellher dan Kenchington, 1992 ; Jones, 1994; Barr et al, 1997; Salm et al,2000 semua dalam Bengen, 2002) : (1) melindungi habitat-habitat keritis, (2) mempertahankan  keanekaragaman hayati, (3) mengkonservasi sumberdaya ikan, (4) melindungi garis pantai, (5) melindungi lokasi-lokasi yang bernilai sejarah dan budaya, (6) menyediakan lokasi rekreasi dan pariwisata alam, (7) merekolonisasi daerah-daerah yang tereksploitasi, dan (8) mempromosikan pembangunan kelautan.

2.3   Konservasi Ekosistem Terumbu Karang
Terumbu karang (coral reefs) terdapat di lingkungan perairan yang agak dangkal. Terumbu karang terutama terbentuk dari endapan-endapan kalsium karbonat (CaCO3) yang dihasilkan oleh organisme karang, alga berkapur dan organisme lain yang mengeluarkan kalsium karbonat. Sumber daya terumbu karang, selain sebagai habitat ikan dan hewan serta tumbuhan air lainnya juga sebagai penahan gelombang. Karena itu hilangnya terumbu karang menyebabkan pengikisan daerah pesisir oleh gelombang laut atau abrasi (Soesilo dan Budiman, 2003:286).
Menurut Sawyer (1992) dalam  Dahuri (2003) bahwa terumbu karang diidentifikasi sebagai sumberdaya yang memiliki nilai konservasi yang tinggi karena memiliki keanekaragaman biologis yang tinggi, keindahan, dan menyediakan cadangan plasma nutfah. Lebih lanjut dikatakan bahwa oleh Ruinteenbeek dalam Sawyer (1992) dalam Dahuri (2003) bahwa nilai ekonomi terumbu karang diperkirakan setengah dari nilai ekonomi hutan tropic basah, yaitu sebesar AS $ 1.500 km2 pertahun.
Terumbu karang merupakan suatu ekosistem yang sanga rentan terhadap perubahan yang terjadi di lingkungan sekitarnya termasuk gangguan yang berasal dari kegiatan manusia dan pemulihannya memerlukan waktu yang lama. Menurut Burke et all (2002) bahwa terdapat beberapa penyebab kerusakan terumbu karang, yaitu :
1.     Pembangunan di wilayah pesisir yang tidak dikelola dengan baik;
2.     Aktivitas di laut antara lain dari kapal dan pelabuhan termasuk akibat langsung dari pelemparan jangkar kapal;
3.     Penebangan hutan dan perubahan tata guna lahan yang menyebabkan peningkatan sedimentasi;
Upaya pengelolaan terumbu karang harus diakukan oleh berbagai pihak terkait baik masyarakat lembaga swadaya masyarakat (LSM) swasta maupun pemerintah. Pengelolaan merupakan sebuah proses yang terus-menerus yang terdiri dari serangkaian proses yang meliputi pendidikan, pelatihan, pengawasan, pengendalian, pemantauan dan evaluasi. Metoda pengelolaan terumbu karang diawali dengan menganalisis kondisidan perasalahan pengeoaan terumbu karang, kemudian dilanjutkan dengan melakukan kebijakan dan diakhiri dengan meakukan evauasi terhadap kebijakan dan strategi yang telah dilaksanakan  (Ikawati, et al.2001).

2.4  Konservasi Ekosistem Mangrove
Luas hutan mangrove yang merupakan sumberdaya pesisir dominan di wilayah Indonesia semakin berkurang. Sekitar tahun 1982-1993 terjadi penurunan luas hutan mangrove di Indonesia dari 4 juta hektar menjadi sekitar 2,5 juta hektar (Dahuri, et. al., 1996). Penurunan luasan mangrove di Indonesia terutama diakibatkan oleh kegiatan konversi mangrove menjadi pertambakan (Anonymous, 2000).
Sebagai sebuah hutan, hutan mangrove terdiri dari beragam organisme yang juga saling berinteraksi satu sama lainnya. Fungsi fisik dari hutan mangrove di antaranya: sebagai pengendali naiknya batas antara permukaan air tanah dengan permukaan air laut ke arah daratan (intrusi), sebagai kawasan penyangga, memacu perluasan lahan dan melindungi garis pantai agar terhindar dari erosi atau abrasi.
Upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk memperbaiki dan melestarikan hutan mangrove antara lain:
1.     Penanaman kembali mangrove sebaiknya melibatkan masyarakat. Modelnya dapat masyarakat terlibat dalam pembibitan, penanaman dan pemeliharaan serta pemanfaatan  hutan mangrove berbasis konservasi. Model ini memberikan keuntungan kepada masyarakat  antara lain terbukanya peluang kerja  sehingga terjadi peningkatan pendapatan masyarakat.
2.     Pengaturan kembali tata ruang wilayah pesisir: pemukiman, vegetasi, dll. Wilayah pantai dapat diatur menjadi kota ekologi sekaligus dapat dimanfaatkan sebagai wisata pantai (ekoturisme) berupa wisata alam atau bentuk lainnya.
3.     Peningkatan motivasi dan kesadaran masyarakat untuk menjaga dan memanfaatkan mangrove secara bertanggungjawab.
4.     Penegakan hukum
5.     Perbaikkan ekosistem wilayah pesisir secara terpadu dan berbasis masyarakat. Artinya dalam memperbaiki ekosistem wilayah pesisir masyarakat sangat penting dilibatkan  yang kemudian dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir. Selain  itu juga mengandung pengertian bahwa konsep-konsep lokal  (kearifan lokal) tentang ekosistem dan pelestariannya perlu ditumbuh-kembangkan kembali sejauh dapat mendukung program ini. 

2.5  Konservasi Ekosistem Padang Lamun
Padang lamun merupakan ekosistem laut dangkal yang didominasi oleh vegetasi lamun. Ekosistem padang lamun memiliki peran penting dalam ekologi kawasan pesisir, karena menjadi habitat berbagai biota laut termasuk menjadi tempat mencari makan (feeding ground) bagi penyu hijau, dugong, ikan, echinodermata dan gastropoda (Bortone, 2000). Peran lain adalah menjadi barrier (penghalang) bagi ekosistem terumbu karang dari ancaman sedimentasi yang berasal dari daratan.
Pada pertumbuhan lamun faktor-faktor oseanografi yang mempengaruhi antara lain salinitas, sedimentasi, arus yang optimal, dan kecepatan gelombang yang menyebabkan pentingnya unsur ini sebagai bahan kajian untukmenentukan laju pertumbuhan lamun di perairan Desa Dolong A dan perairan Desa Kalia. Untuk itu diperlukan upaya penggambaran potensi kedua wilayah tersebut secara mendetail melalui penelitian khususnya pertumbuhan daun lamun Enhalus acoroides dan hubungannya dengan beberapa faktor oseanografi dalam menunjang laju pertumbuhan lamun di kedua perairan tersebut. Lamun (Seagrass) merupakan satu-satunya tumbuhan berbunga (Angiospermae) yang memiliki rhizoma, daun dan akar sejati yang hidup terendam di dalam laut. Lamun umumnya membentuk padang lamun yang luas di dasar laut yang masih dapat dijangkau oleh cahaya matahari yang memadai bagi pertumbuhannya (Bengen,2002).
Dalam pembuatan kebijakan konservasi ekosistem padang lamun tidak terlepas dari arahan kebijakan pengelolaann wilayah pesisir dan lautan secara terpadu yaitu diarahkan pada3 aspek utama, yaitu : aspek biofisik, aspek sosial dan ekonomi serta aspek hukum dan kelembagaan. Aspek sosial, ekonomi dan budaya merupakan komponen penunjang yang sangat penting dan dapat memberikan nilai penting dari komponen biofisik. Aktivitas sosial,ekonomi dan budaya dapat memberikan pengaruh negatif atau positif terhadap sumberdaya ekosistem pesisir (Zulkifli, 2003).Keanekaragaman ekosistem yang merupakan suatu lingkungan dengan kekhasan ciri-ciri dan karakteristik dimana terdapat proses ekologis berbagai jenis hayati.Konservasi dibagi atas 2 golongan yaitu konservasi di habitat aslinya (insitu) dan di luar habitat asli (exsitu). Konservasi insitu  dimaksudkan untuk konservasi keanekaragaman genetik dan jenis di daerah yang dilindungi termasuk diantaranya Taman Nasional.


BAB III
KONSERVASI KAWASAN

3.1    Prinsip Penentuan Kawasan Konservasi
Prinsip pertama dalam penentuan kawasan konservasi adalah keterwakilan dan kelangkaan atau keterancaman (ekosistem atau spesies) dari kepunahan. Karena ekosistem dan spesies di Indonesia sangat beragam, maka untuk dapat memenuhi azas keterwakilan tersebut diperlukan banyak kawasan konservasi yang tersebar di berbagai daerah. Prinsip kedua (dalam menentukan luas) adalah teori Biogeografi, makin banyak dan makin luas (kompak) kawasan konsewasi akan makin banyak tipe ekosistem atau spesies yang diselamatkan (dilindungi). Prinsip ketiga, sesuai dengan Convention on Conservation of Biodiversity adalah "save it, study it, and use it" (Suwelo, 2000; Alikodra, 1996). Artinya selamatkanlah suatu ekosistem sebelum hilang (rusak), kemudian kaji kegunaannya manusia.
3.2    Kawasan Konservasi dan Klasifikasinya
Dalam ketentuan Undang-undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, kita mengenal mengenai kawasan konservasi dan klasifikasinya sebagai berikut :
1. Kawasan Suaka Alam adalah kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di daratan  maupun di perairan yang mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya yang juga berfungsi sebagai wilayah sistem penyangga kehidupan, yang mencakup.
a.   Kawasan cagar alam adalah kawasan suaka alam yang karena keadaan alamnya mempunyai kekhasan tumbuhan, satwa dan ekosistemnya atau ekosistem tertentu yang perlu dilindungi dan perkembangannya berlangsung secara alami.
b.   Kawasan suaka margasatwa adalah kawasan suaka alam yang mempunyai ciri khas berupa keanekaragaman dan atau keunikan jenis satwa yang untuk kelangsungan hidupnya dapat dilakukan pembinaan terhadap habitatnya.
2.   Kawasan Pelestarian Alam adalah kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di daratan maupun diperairan yang mempunyai fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumberdaya alamhayati dan ekosistemnya, yang mencakup :
a.   Kawasan taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk keperluan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi.
b.   Kawasan taman wisata alam adalah kawasan pelestarian alam dengan tujuan utama untuk dimanfaatkan bagi kepentingan pariwisata dan rekreasi alam.


c.   Kawasan taman hutan raya adalah kawasan pelestarian alam untuk tujuan koleksi tumbuhan dan atau satwa yang alami atau bukan alami, jenis asli dan atau bukan asli, yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, budaya, pariwisata dan rekreasi alam.


BAB IV
PENGELOLAAN TAMAN NASIONAL

4.1 Kriteria Penetapan Kawasan Taman Nasional (TN)

                   Kriteria Penetapan Kawasan Taman Nasional (TN) adalah sebagai berikut :
1.   Kawasan yang ditetapkan mempunyai luas yang cukup untuk menjamin kelangsungan proses ekologis secara alami;
2.   Memiliki sumber daya alam yang khas dan unik baik berupa jenis tumbuhan maupun satwa dan ekosistemnya serta gejala alam yang masih utuh dan alami;
3.   Memiliki satu atau beberapa ekosistem yang masih utuh;
4.   Memiliki keadaan alam yang asli dan alami untuk dikembangkan sebagai pariwisata alam;
5.   Merupakan kawasan yang dapat dibagi kedalam Zona Inti, Zona Pemanfaatan, Zona Rimba dan Zona lain yang karena pertimbangan kepentingan rehabilitasi kawasan, ketergantungan penduduk sekitar kawasan, dan dalam rangka mendukung upaya pelestarian sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, dapat ditetapkan sebagai zona tersendiri.

4.2   Manfaat Pengelolaan Taman Nasional (TN)
 Pengelolaan taman nasional dapat memberikan manfaat antara lain:
1.   Ekonomi, dapat dikembangkan sebagai kawasan yang mempunyai nilai  ekonomis, sebagai contoh potensi terumbu karang merupakan sumber yang memiliki produktivitas dan keanekaragaman yang tinggi sehingga membantu meningkatkan pendapatan bagi nelayan, penduduk pesisir bahkan devisa negara.
2.   Ekologi, dapat menjaga keseimbangan kehidupan baik biotik maupun abiotik di daratan maupun perairan.
3.   Estetika, memiliki keindahan sebagai obyek wisata alam yang dikembangkan sebagai usaha pariwisata alam / bahari.
4.   Pendidikan dan Penelitian, merupakan obyek dalam pengembangan ilmu pengetahuan, pendidikan dan penelitian.
5.   Jaminan Masa Depan, keanekaragaman sumber daya alam kawasan konservasi baik di darat maupun di perairan memiliki jaminan untuk dimanfaatkan secara batasan bagi kehidupan yang lebih baik untuk generasi kini dan yang akan datang.

Kawasan taman nasional dikelola oleh pemerintah dan dikelola dengan upaya pengawetankeanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya. Suatu kawasan taman nasionali kelola berdasarkan satu rencana pengelolaan yang disusun berdasarkan kajian aspek-aspek ekologi, teknis, ekonomis dan sosial budaya.
Rencana pengelolaan taman nasional sekurang-kurangnya memuat tujuan pengelolaan, dan garis besar kegiatan yang menunjang upaya perlindungan, pengawetan dan pemanfaatan kawasan.Pengelolaan Taman nasional didasarkan atas sistem zonasi, yang dapat dibagi atas : Zona inti, Zona pemanfaatan,  Zona rimba; dan atau yang ditetapkan Menteri berdasarkan kebutuhan pelestarian.



DAFTAR PUSTAKA


Aziizah, N. N., Siregar, V. P., & Agus, S. B. (2017). PENERAPAN ALGORITMA SPECTRAL ANGLE MAPPER (SAM) UNTUK KLASIFIKASI LAMUN MENGGUNAKAN CITRA SATELIT WORLDVIEW-2. Jurnal Penginderaan Jauh dan Pengolahan Data Citra Digital, 13(2).
Dewi, E. S. (2006). Analisis ekonomi manfaat ekosistem terumbu karang di Pulau Ternate Provinsi Maluku Utara. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Indonesia, P. R., & Indonesia, P. R. (1990). Undang Undang No. 5 Tahun 1990 Tentang: Konservasi Sumberdaya Alam Hayati Dan Ekosistemnya. Jakarta: Dephut.
Mardiastuti. A., Kusrini, M.D., Mulyani, Y.A., Manullang, S. and Soehartono, T., 2008. Arahan Strategis Konservasi Spesies Nasional 2008-2018. Jakarta: Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservas Alam-Departemen Kehutanan RI.
Napitu, J. P., & Marsono, D. (2007). Pengelolaan kawasan konservasi. Tersedia: http://pt. scribd. com/doc/50598000/pengelolaan-kawasan-konservasi [5 Juli 2012].
Purwanto, A. D., Asriningrum, W., Winarso, G., Parwati, E., & Jauh-LAPAN, P. P. P. (2014). Analisis Sebaran dan Kerapatan Mangrove Menggunakan Citra Landsat 8 Di Segara Anakan, Cilacap. In Prosiding Seminar Nasional Penginderaan (Vol. 2014, pp. 232-241).
Rahmat, U. M. (2009). Genetika Populasi dan Strategi Konservasi Badak Jawa (Rhinoceros sondaicus Desmarest 1822)(Population Genetics of Javan Rhino (Rhinoceros sondaicus Desmarest 1822) and It’s Conservation Strategy). Jurnal Manajemen Hutan Tropika, 15(2).
Setyawan, E., & Yusri, S. (2011). TERUMBU KARANG JAKARTA: Pengamatan Jangka Panjang Terumbu Karang Kepulauan Seribu (2003-2007). Yayasan Terumbu Karang Indonesia.
Simberloff, D. (1998). Flagships, umbrellas, and keystones: is single-species management passé in the landscape era?. Biological conservation, 83(3), 247-257.
Walpole, M. J., & Leader-Williams, N. (2002). Tourism and flagship species in conservation. Biodiversity & Conservation, 11(3), 543-547.
Zacharias, M. A., & Roff, J. C. (2001). Use of focal species in marine conservation and management: a review and critique. Aquatic Conservation: Marine and Freshwater Ecosystems, 11(1), 59-76.






BAB I
PENGELOLAAN TAMAN NASIONAL UJUNG KULON

1.1  Pengertian Taman Nasional
Menurut aturan yang berlaku taman nasional adalah kawasan pelestarian alam (UU No.5/1990, Keppres No. 32/1990, PP No. 68/1998), yang memiliki ciri-ciri khas, dan berfungsi sebagai pelindung ekosistem yang menyangga  sistem-sistem kehidupan. Taman nasional dikelola menurut zonasi yang ditujukan untuk rekreasi, pendidikan dan penelitian. Kenyataannya, keberadaan taman nasional sering kali menimbulkan tanda tanya bagi masyarakat lokal dan pemerintah kabupaten. Umumnya arti, maksud dan tujuan penetapan taman nasional masih kurang dipahami.

1.2  Penetapan dan Pengelolaan Taman Nasional
Sebagai negara yang terletak di sekitar garis kathulistiwa, Indonesia memiliki kekayaan keanekaragaman hayati yang melimpah. Kekayaan ini tersimpan di dalam hutan hujan tropis yang membentang di sepanjang kathulistiwa dari Sabang sampai Merauke. Oleh karena itu Indonesia termasuk negara megabiodiversity, dan hanya tertandingi oleh Brazil dan Zaire. Indonesia memiliki sekitar 12 persen (515 jenis) dari total jenis binatang menyusui (mamalia); 7,3 persen (511 jenis) dari total reptil dan 17 persen (1.531 jenis) dari total jenis burung di dunia; 270 jenis amfibi; 2.827 jenis ikan serta 47 jenis ekosistem. Selain itu sebagai bagian terbesar di kawasan Indo-Malaya, Indonesia merupakan salah satu dari 12 pusat distribusi keanekaragaman genetik tanaman atau yang lebih dikenal sebagai Vavilov Centre (Endarwati, 2005; BAPPENAS, 2003; BAPPENAS, 1993).
Sebagai negara yang kaya akan hutan, bangsa Indonesia sejak berabad-abad lampau sudah berinteraksi secara kuat dengan hutan, sehingga antara hutan dan manusia sudah menjadi satu kesatuan (adherent). Banyak kebutuhan manusia yang dapat dipenuhi dari dalam hutan, seperti perumahan, sandang, pangan, obat-obatan, dan jasa lingkungan. Pada awalnya hubungan saling ketergantungan ini berjalan selaras, namun dengan perkembangan jaman yang disertai dengan pertambahan penduduk, peningkatan kebutuhan dan munculnya motivasi untuk meningkatkan pendapatan, maka eksploitasi terhadap sumberdaya hutan mulai dilakukan secara ekstensif dan ekstraktif sehingga merusak keselarasan tersebut. Bahkan, pemerintah dan masyarakat yang jauh dari hutan memandang hutan sebagai sumber ekonomi. Akibatnya eksploitasi hutan secara komersial dan berskala besar berkembang pesat. Ironisnya, masyarakat yang selama ini menggantungkan hidup kepada hutan menjadi terusir dan kehilangan aksesnya kepada sumberdaya hutan. Dampaknya, disamping menimbulkan konflik dan masalah sosial lain, kerusakan hutan juga semakin parah dan meluas.
Penetapan dan pengelolaan taman nasional merupakan salah satu cara memperoleh manfaat sumberdaya hutan selain kayu, sehingga manfaatnya dapat dinikmati secara lestari lintas generasi. Sampai akhir tahun 2004 sudah ada 50 taman nasional yang ditetapkan. Pemanfaatan sumberdaya hutan dengan basis taman nasional  diharapkan lebih menjamin kelestarian sumberdaya alam dan dapat meningkatkan manfaat bagi kesejahteraan masyarakat lokal dengan lebih nyata. Manfaat ekonomi ini dapat dihasilkan dari jasa-jasa lingkungan (air dan wisata) maupun hasil hutan non kayu yang diperoleh tanpa merusak ekosistem atau menebang pohon. Hal ini sesuai dengan konsep pembangunan berkelanjutan berwawasan lingkungan yang menjadi asas pembangunan nasional di Indonesia.

1.3  SEJARAH PERKEMBANGAN KEBIJAKAN TAMAN NASIONAL
Sejarah mencatat bahwa usaha penetapan taman nasional untuk pertama kalinya dimulai di Amerika Serikat ketika Presiden Abraham Lincoln menetapkan Yellowstone sebagai kawasan perlindungan alam yang kemudian menjadi taman nasional pertama di dunia. Sejarah juga mencatat setidaknya ada lima tonggak penting dalam perkembangan pengelolaan kawasan konservasi yaitu (Putro, 2006):
1.   Era Yellowstone dimana pembangunan taman nasional hanya ditujukan untuk perlindungan spesies tertentu sebagai prioritas utama sehingga “menyingkirkan” kepentingan kehidupan manusia.
2.   Era 70-an, pada Kongres IUCN (International Union for Conservation of Nature and Natural Resources) di New Delhi (tahun 1969) menetapkan bahwa kawasan konservasi harus dikategorisasikan ke dalam beberapa kategori menurut kriteria tertentu, agar pengelolaannya lebih efektif dan efisien. Merujuk pada hasil kongres tersebut, pada tahun 1978 IUCN mengembangkan pedoman kategorisasi kawasan konservasi.
3.   Era 80-an pada Kongres CNPPA (Commission on National Parks and Protected Areas) atau
Kongres Taman Nasional ke-3 di Bali tahun 1982 yang bertema “Park for Sustainable Development”, memberikan pesan agar setiap unit kawasan konservasi harus dibuat rencana pengelolaan (management plan) sebagai panduan bagi pengelola untuk mencapai tujuannya.
4.   Era 90-an pada Kongres WCPA (World Commission on Protected Areas) di Caracas, Venezuela tahun 1993 yang mengamanahkan bahwa pengelolaan kawasan konservasi tidak bisa hanya dikelola oleh single institution, melainkan harus melibatkan berbagai pihak yang berkepentinngan, khususnya masyarakat sekitar kawasan. Implikasinya, berbagai pendekatan pengelolaan seperti pendekatan partisipatif (participatory approach) dan pengelolaan bersama (joint management ataupun collaborative management approaches) menjadi acuan pengelolaan sumberdaya hutan, termasuk kawasan konservasi. Era ini juga ditandai dengan maraknya proyek mega-juta dollar seperti ICDP atau semacamnya.
5.   Era 2000-an dari hasil Kongres WCPA terakhir di Durban, Yordania tahun 2003, dimandatkan bahwa pengelolaan kawasan konservasi harus mampu memberikan manfaat ekonomi bagi para pihak yang berkepentingan, termasuk masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar kawasan konservasi. Seiring dengan perkembangan terkini tersebut, maka berbagai kebijakan dan regulasi yang berkaitan dengan pengelolaan kawasan konservasi juga selayaknya mengikutinya. Hal ini penting, karena institusi konservasi yang ada di Indonesia saat ini masih mengikuti konsep era sebelumnya.
Titik awal konservasi modern di Indonesia dimulai sejak kongres ke-3 taman nasional dan kawasan yang dilindungi sedunia pada Oktober 1982 di Bali (Mackinnon et al., 1993). Bersamaan dengan kongres tersebut, pemerintah Indonesia mendeklarasikan 11 taman nasional (Soemarwoto, 2004).

1.4  PERMASALAHAN DI TAMAN NASIONAL
1.   Pembalakan Liar (Illegal Logging)
Istilah illegal logging berdasarkan literatur merujuk pada aktivitas yang terkait dengan ekstraksi kayu yang bertentangan dengan peraturan pemerintah. Illegal logging merupakan salah satu simpul tindak korupsi yang melibatkan oknum aparat pemerintah, baik sipil, militer maupun kepolisian, pengusaha, dan masyarakat. Hubungan antara illegal logging dan korupsi telah banyak dipaparkan di berbagai literatur (Callister 1999, Palmer 2001; Contreras-Hermosilla, 2001; Scotland et al., 2000). Hubungan erat ini ditunjukkan oleh fakta bahwa illegal logging yang merajalela di Indonesia melibatkan korupsi di dalamnya (Smith et al., 2003). Illegal logging dalam arti luas termasuk mulai dari pemberian hak pengusahaan, pada seluruh rantai produk kayu, mulai dari tahap perencanaan, pemanenan, dan transpor bahan baku sampai manajemen keuangannya (Tacconi et al.,2003).
2.   Dampak Perubahan Tata Guna Lahan di Sekitar Kawasan Konservasi
Sampai akhir tahun 2004 terindikasi kawasan hutan yang terdegradasi mencapai 59,17 juta ha. Laju kerusakan hutan antara tahun 2000 sampai dengan 2004 akibat praktek-praktek illegal diperkirakan mencapai 2,8 juta ha/tahun (BAPLAN, 2004). Hal ini terjadi di banyak taman nasional di Indonesia, baik dilakukan oleh masyarakat lokal maupun pendatang dari daerah lain. Bahkan penempatan transmigrasi di sekitar kawasan konservasi di beberapa provinsi terbukti memberikan ancaman serius terhadap kawasan konservasi di wilayah tersebut. Misalnya, program transmigrasi di Sulawesi Tengah (mengancam SM Bakiriang), di Sulawesi Tenggara (berbatasan dengan TN. Rawa Aopa Watumohai), di Sulawesi Utara (berbatasan dengan TN. Bogani Nani Warta Bone).


3.   Minimnya Data Dasar Potensi Keanekaragaman Hayati
Minimnya data dan informasi kekayaan keanekaragaman hayati di dalam taman nasional merupakan masalah mendasar yang perlu segera diatasi, karena dengan data dasar tersebut rencana pengelolaan disusun dan pengembangan pemanfaatan dapat dilakukan dengan lebih terarah dan lestari. Minimnya data ini disebabkan kurangnya kegiatan penelitian di taman nasional yang dilakukan oleh peneliti dari perguruan tinggi maupun lembaga riset. Sementara itu tenaga teknis di taman nasional yang jumlahnya terbatas menyebabkan inventarisasi potensi keanekaragaman hayati tidak dapat dilaksanakan dengan baik.

1.5  Taman Nasional Ujung Kulon
Taman Nasional Ujung Kulon ditetapkan sebagai Taman Nasional sejak tahun 1992 berdasarkan SK. Menteri Kehutanan No. 284/Kpts-II/1992 pada tanggal 26 Februari 1992. Selain itu pada tahun yang sama kawasan ini ditetapkan sebagai World Herritage Site oleh Komisi Warisan Alam Dunia Unesco dengan Surat Keputusan No. SC/Eco/5867 2409. Taman Nasional Ujung Kulon merupakan hutan hujan tropis dataran rendah terluas di Pulau Jawa dengan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa yang cukup tinggi.

1.6  Pengelolaan Konservasi Ujung Kulon
Lebih dari dua dasa warsa kebijakan taman nasional diimplementasikan di Indonesia. Sampai akhir tahun 2004 sudah ada 50 taman nasional yang ditetapkan. Meskipun dari waktu ke waktu jumlahnya semakin bertambah, tetapi prestasi keberhasilan pengelolaannya belum seperti yang diharapkan banyak pihak. Hal ini diindikasikan oleh banyaknyanya konflik dan terus berlangsungnya perambahan di hampir seluruh taman nasional. Kebijakan pengelolaan taman nasional pun dari waktu ke waktu terus berubah mengikuti perkembangan jaman dan mengakomodir berbagai pihak yang berkepentingan (stakeholders). Demikian juga model pengelolaan taman nasional terus dikaji dan diujicobakan, meskipun hasilnya belum ada yang memuaskan. Tulisan ini berusaha membedah perkembangan kebijakan pengelolaan taman nasional sebagai wahana reflkesi untuk perbaikan ke depan.
Penetapan dan pengelolaan taman nasional merupakan salah satu cara memperoleh manfaat sumberdaya hutan selain kayu, sehingga manfaatnya dapat dinikmati secara lestari lintas generasi. Sampai akhir tahun 2004 sudah ada 50 taman nasional yang ditetapkan. Pemanfaatan sumberdaya hutan dengan basis taman nasional diharapkan lebih menjamin kelestarian sumberdaya alam dan dapat meningkatkan manfaat bagi kesejahteraan masyarakat lokal dengan lebih nyata. Manfaat ekonomi ini dapat dihasilkan dari jasa-jasa lingkungan (air dan wisata) maupun hasil hutan non kayu yang diperoleh tanpa merusak ekosistem atau menebang pohon. Hal ini sesuai dengan konsep pembangunan berkelanjutan berwawasan lingkungan yang menjadi asas pembangunan nasional di Indonesia.
Untuk kepentingan pengaturan pemanfaatan, pemerintah menetapkan zonasi di taman nasional. Kepentingan masyarakat dan kepentingan konservasi diakomodir dalam zona-zona yang ditetapkan, seperti zona inti, zona rimba, zona pemanfaatan intensif, zona pemanfaatan tradisional, dan lain-lain. Sayangnya, zonasi ini seringkali dapat didefinitifkan di atas peta tetapi sulit diimplementasikan di lapangan. Bahkan, bila tidak melibatkan masyarakat dalam penetapannya, zonasi ini dikhawatirkan tidak akan dapat dilaksanakan (dilanggar oleh masyarakat). Walaupun konsep penetapan taman nasional sebagai kawasan konservasi sangat ideal dengan tiga fungsi utamanya yaitu sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman hayati dan sumber plasma nutfah serta pemanfaatan yang lestari keanekaragaman hayati dan ekosistemnya, namun bukan berarti tidak menghadapi permasalahan. Sejak awal pembentukanya, pemerintah terus mencari konsep pengelolaan taman nasional yang ideal atau yang cocok dengan kondisi biofisik, sosial, ekonomi dan budaya setempat serta dapat mengakomodir semua kepentingan.
Berbagai upaya manajemen telah dikaji dan diujicobakan, namun belum menampakkan keberhasilan yang nyata, mulai dari ICDP (Integrated Conservation and Development Project) dan IPAS (Integrated Protected Area System) pada awal tahun 1990-an (Sumardja dan Ishwaran, 1996), kemudian konsep Manajemen Bioregional kawasan konservasi (Sumardja, 1997). Setelah itu muncul konsep manajemen partisipatif atau manajemen berbasis masyarakat atau sering disebut juga (dianggap sama) dengan konsep pengelolaan hutan bersama masyarakat. Bersamaan dengan itu juga muncul terminology manajemen kemitraan dan pengelolaan taman nasional terpadu. Tetapi semua itu dianggap belum memberikan hasil yang optimal sampai akhirnya Menteri Kehutanan mengeluarkan Peraturan Nomor P.19/Menhut- II/2004 tentang Kolaborasi Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam (Departemen Kehutanan, 2005).
Implementasi dari semua konsep pengelolaan tersebut umumnya masih bersifat trial and error dan keberlanjutannya sangat tergantung dari sikap dan kebijakan pejabat yang sedang memegang tampuk kepemimpinan (mulai dari Menteri, Dirjen, Direktur dan Kepala Balai Taman Nasional). Akibatnya masih banyak pengelolaan taman nasional yang belum menampakkan hasil ideal yang diharapkan. Belum tuntas implementasi model pengelolaan taman nasional yang sedang menjadi program pemerintah (Departemen Kehutanan) saat ini, muncul wacana baru berkaitan dengan pengelolaan taman nasional yaitu Taman Nasional Mandiri. Definisi, kriteria, indikator dan
Semenanjung Ujung Kulon merupakan habitat terakhir badak Jawa (Rhinoceros sondaicus Desm) di dunia. Daerah ini terletak di paling ujung Barat Pulau Jawa dan termasuk kedalam wilayah Daerah Tingkat II Kabupaten Pandeglang, Jawa Barat . Luas daerah ini menunrt beberapa ahli bervariasi antara 300 kin' - 411 km2. Pada Tahun 1980 daerah ini termasuk kedalam Kawasan Taman Nasional Ujung Kulon, dimana taman nasional ini meliputi daerah Semenanjung Ujung Kulon, Pulau Panaitan, Pulau Peucang, Cagar Alam Gunung Honje dan daerah lautan di sekitarnya. Luas keseluruhan taman nasional ini . dalah 57.500 ha (BLOWERdan ZON, 1978, dalam SADJUDIN, 1984). Lebih lanjut pada tahun 1992 taman nasional ini ditetapkan sebagai Taman Warisan Dunia (World Heritage Site) dikarenakan kawasan ini merupakan habitat badak Jawa yang paling memungkinkan (viable).

1.7  Tipe Ekosistem Kawasan Taman Nasional Ujung Kulon
Kawasan Taman Nasional Ujung Kulon memiliki tiga tipe ekosistem yaitu:
1.     Ekosistem daratan/teresterial, terdiri dari hutan hujan tropika dataran rendah yang terdapat di wilayah Gunung Honje, Semenanjung Ujung Kulon, Pulau Peucang dan Pulau Panaitan.
2.     Ekosistem perairan laut terdiri dari terumbu karang dan padang lamun yang terdapat di wilayah perairan Semenanjung Ujung Kulon, Pulau Handeuleum, Pulau Peucang dan Pulau Panaitan.
3.     Ekosistem pesisir pantai terdiri dari hutan pantai yang terdapat di sepanjang pesisir pantai dan hutan mangrove di bagian timur laut Semenanjung Ujung Kulon.
Ketiga ekosistem tersebut mempunyai hubungan saling ketergantungan dan membentuk dinamika proses ekologi yang sangat kompleks di dalam kawasan. Salah satu program penunjang keberhasilan pelestarian badak Jawa di dalam kawasan ini adalah program pengelolaan habitat Yang dilaksanakan secara hati-hati dan bijaksana. Untuk menunjang keberhasilan pengelolaan habitat badak Jawa maka selunih komponen yang terkait, baik komponen fisik maupun biologis, yang saling berinteraksi di dalam habitat badak Jawa perlu dikaji dan ditelaah secara mendalam . Di dalam tulisan ini pengkajian komponen habitat akan ditekankan kepada komponen fisik Semenanjung Ujung Kulon yang bersifat khas .

1.8  Lokasi Taman Nasional Ujung Kulon
Kawasan Ujung Kulon merupakan salah satu kawasan taman nasional terbesar di Jawa. Luas kawasan ini mencapai sekitar 120.551 hektar yang terdiri dari 76.214 hektar daratan dan 44.337 hektar laut. Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK) secara geografis terletakpada 102°02'32"-105°37'37" BT dan 06°30'43"-06°52'17" LS. Secara administratif masuk dalam wilayah Kecamatan Sumur dan Cimanggu, Kabupaten Pandeglang, Banten. Kawasan Ujung Kulon ditetapkan sebagai taman nasional pada tahun 1992 melalui SK Menteri Kehutanan No. 284/kpts-II/1992 tanggal 26 Februari 1992 (UNEP, 1997; Balai Taman Nasional Ujung Kulon, 2005).


1.9  Keanekaragaman Hayati Taman Nasional Ujung Kulon
Di kawasan Taman Nasional Ujung Kulon terdapat habitat badak jawa (Rhinoceros sondaicus) dan banteng (Bos javanicus), yang merupakan satwa langka dan dilindungi. Selain itu kawasan ini juga memiliki beragam tipe ekosistem hutan yang di dalamnya menyimpan berbagai macam sumber daya hayati flora dan fauna. Salah satunya adalah ekosistem mangrove. Ekosistem mangrove merupakan sistem terbuka di mana terjadi pertukaran material dan energi dari wilayah sekitar laut, perairan tawar dan ekosistem teresterial. Selain ekosistem ini berfungsi sebagai tempat berpijah dan tempat asuhan berbagai spesies ikan, udang dan biota lainnya serta merupakan habitat dari berbagai spesies burung migran, mamalia dan reptile (Barnes, 1974).
Terkait dengan keanekaragaman hayati khususnya ikan ekosistem mangrove di Jawa, data yang pernah dilaporkan antara lain ikan di daerah mangrove Kepulauan Seribu, yaitu Pulau Pari diperoleh 29 spesies ikan yang mewakili 18 famili, di Pulau Tengah 33 spesies yang mewakili 19 famili, di Pulau Kongsi 29 spesies mewakili 29 famili, dan di Pulau Burung 32 spesies mewakili 21 famili (Adrim et al.,1982). Sedangkan data yang pernah dilaporkan oleh Balai Taman Nasional Ujung Kulon (2005) bahwa di TNUK terdapat 55 spesies ikan. Namun informasi mengenai ikan pada ekosistem mangrove belum diperoleh data yang akurat.
1.10 Konservasi Badak Jawa
Badak jawa (Rhinoceros sondaicus, Desmarest 1822) merupakan spesies paling langka di antara lima spesies badak yang ada di dunia sehingga dikategorikan sebagai endangered atau terancam dalam daftar Red List Data Book yang dikeluarkan oleh International Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN) pada tahun 1978. Badak jawa mendapat prioritas utama untuk diselamatkan dari ancaman kepunahan. Selain itu, badak jawa juga terdaftar dalam Apendiks I Convention on International Trade in Endangered Spesies of Wild Fauna and Flora (CITES) pada tahun 1978 sebagai jenis yang jumlahnya sangat sedikit di alam dan dikhawatirkan
akan punah.
Pada masa lampau badak Jawa mudah ditemukan di hutan-hutan yang dibuka manusia untuk perkebunan, bahkan di Jawa pernah dikategorikan sebagai hama pertanian. Pada r/S 17 tahun 1747-1749 dan 1820,Pemerintah bahkan memberikan hadiah bagi siapa yang dapat membunuh badak Jawa(Sody,1959). Badak Jawa lebih beradaptasi di lingkungandataran rendah ketimbang daerah pegunungan, khususnya apabila mereka hidup simpatrik dengan badak Sumatera(Dicerrorhinus sumatrensis).
Yang lebih beradaptasi dengan lingkungan pegunungan(Groves,1967).Bila hanya badak Jawa yang ditemukan di suatu wilayah, misalnya Pulau Jawa, mereka juga menempati habitat pegunungan(Sody,1959; Groves,1967).Pada tahun 1839, Junghun bertemu dengan dua ekor badak Jawa di puncak Gunung Pangrango(Van Steenis,1972).
Salah satu program penunjang keberhasilan pelestarian badak Jawa di dalam kawasan ini adalah program pengelolaan habitat Yang dilaksanakan secara hati-hati dan bijaksana. Untuk menunjang keberhasilan pengelolaan habitat badak Jawa maka seluruh komponen yang terkait, baik komponen fisik maupun biologis,yang saling berinteraksi di dalam habitat badak Jawa perlu dikaji dan ditelaah secara mendalam. Di dalam tulisan ini pengkajian komponen habitat akan ditekankan kepada komponen fisik Semenanjung Ujung Kulon yang bersifat khas.

1.10.1    Penyebaran dan Populasi Badak Jawa Pada Kondisi Saat Ini
Penyebaran badak jawa di dunia terbatas di Indonesia, Vietnam dan kemungkinan terdapat juga di Laos dan Kamboja. Di Indonesia, badak jawa hanya terdapat di Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK) dengan populasi relatif kecil, yaitu sekitar 59-69 ekor (TNUK 2007). Di Vietnam, populasi badak jawa hanya terdapat di Taman Nasional Cat Tien dan diperkirakan tersisa 2-8 ekor yang bertahan hidup. Jumlah populasi badak jawa yang sedikit dan hanya terdapat di satu areal memiliki resiko kepunahan yang tinggi. Oleh karena itu, upaya untuk menjamin kelestarian populasi badak jawa dalam jangka panjang merupakan salah satu prioritas program konservasi badak jawa di Indonesia.
Populasi badak jawa di Taman Nasional Ujung Kulon hanya tersebar di Semenanjung Ujung Kulon, khususnya pada dataran rendah yang rimbun dengan semak dan perdu yang rapat. Penyebaran satwa tersebut seakan membentuk daerah-daerah konsentrasi badak yang diketahui mengalami pergeseran dari waktu ke waktu.
Suatu fenomena yang cukup menarik, sejak bulan Desember 1996 pada bagian selatan dari kawasan Gunung Honje (blok Kalejetan) telah dihuni kembali oleh dua ekor badak jawa. Dimana berdasarkan hasil monitoring diketahui bahwa sejak tahun 1992 kawasan tersebut tidak lagi dihuni oleh satwa tersebut. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Haryono(1996).
Menurut Hoogerwerf(1970) sejak melakukan penelitian pada tahun 1937, populasi badak jawa menunjukkan pertumbuhan dan penurunan jumlah dari tahun ke tahun. Ketika Schenkel memulai penelitian dan program konservasi badak jawa pada tahun 1967 menaksir populasi satwa tersebut tinggal 25 ekor (Hommel,1990). Dari hasil inventarisasi oleh petugas PHPA dan beberapa peneliti, sejak tahun 1967 sampai tahun 1982 populasi badak jawa meningkat sampai dua kali lipat. Namun sejak tahun 1982 sampai saat ini jumlah populasi badak jawa cenderung berfluktuasi naik turun pada sekitar angka 50 ekor.

1.10.2    Habitat Badak Jawa
Habitat terpilih mampu menyediakan seluruh kebutuhan hidup badak jawa untuk menjamin kelestarian populasi serta memiliki frekuensi penggunaan yang tinggi. Kebutuhan hidup bagi badak jawa terdiri atas makanan, air, udara bersih, garam mineral, tempat berlindung, berkembang biak, berkubang, dan mengasuh anak. Untuk menjamin kelestarian populasi badak jawa maka habitat terpilih harus memiliki kualitas tinggi dan kuantitas yang mencukupi.
Penggunaan ruang oleh badak jawa di TNUK diduga secara tidak acak, yaitu hanya berada pada tempat tertentu yang mengindikasikan adanya preferensi berdasarkan ruang habitat. Hal ini menyebabkan peluang menemukan badak jawa secara langsung sangat kecil. Dengan demikian perlu dirumuskan preferensi habitat dalam rangka manajemen populasi dan habitat badak jawa. Sehubungan dengan hal tersebut, perlu dilakukan penelitian preferensi habitat badak jawa di TNUK. Preferensi habitat ini merupakan resultan dari faktor-faktor fisik dan biotik lingkungan dan membentuk satu kesatuan yang dipilih oleh badak jawa sebagai habitat dengan penggunaan intensif.
Tersedianya data dan informasi tentang faktor-faktor dominan komponen habitat dapat mendorong upaya pelestarian populasi badak jawa melalui manipulasi habitat. Selain itu, informasi yang diperoleh dapat digunakan sebagai dasar pembinaan habitat dalam rangka konservasi insitu badak jawa, penentuan metode inventarisasi badak jawa yang akurat, bahan pertimbangan dalam penentuan lokasi habitat kedua bagi badak jawa, dan menjadi dasar penentuan zonasi TNUK.
Kegiatan pembinaan habitat yang telah dilakukan oleh Taman Nasional Ujung Kulon adalah berupa uji coba pemangkasan dan penanaman kembali jenis-jenis tumbuhan pakan badak pada beberapa lokasi di Semenanjung Ujung Kulon. Selain itu sejak tahun 1991 sedang diteliti teknik pengelolaan habitat badak jawa yang dilakukan bekerjasama dengan Fakultas Kehutanan IPB.

1.10.3    Struktur Vegetasi pada Habitat Badak Jawa
Kajian dilakukan berdasarkan hasil pengolahan parameter-parameter kuantitatif vegetasi dari 25 unit contoh yang mewakili seluruh unit ekologi lansekap (Hommel 1987) yang digunakan badak Jawa sebagai habitatnya.Pengambilan contoh dilakukan selama periode 1991-1994. Hasil perhitungan Indeks Penting di seluruh lokasi contoh menunjukkan bahwa jenis jenis tumbuhan dominan bervariasi, baik untuk tingkat pohon,tiang, pancang, semai, maupun tumbuhan bawah.
Beberapa jenis tumbuhan yang dominan di 3 (tiga) lokasi atau lebih adalah:
1.      Tingkat Pohon
Neonauclea calycina, Lager-stroemia flos-reginae, Diospyros pendula,Saccopetalum heterophylla, Pterospermum diversifolium, Eugenia polyantha dan Glochidion macrocarpum. Dari seluruh jenis tersebut, Eugenia polyantha dan Glochidion macrocarpum merupakan jenis tumbuhan pakan penting bagi badak Jawa.
2.      Tingkat Tiang
Arenga obtusifolia, Dillenia excelsa, Ardisia humilis, dan Diospyros pendula
3.      Tingkat Pancang
Arenga obtusifolia, Eugenia subglauca, Ardisia humilis, Dillenia excelsa dan Eugenia polyantha
4.      Tingkat Semai
Arenga obtusifolia, Ardisia humilis, Leea sambucina dan Mimusops elengi
5.      Tumbuhan Bawah
Donax cannaeformis dan Daemonorops melanochaetes

Dari seluruh jenis tersebut, Eugenia polvantha, Glochidion macrocarpum, Dillenia excelsa, dan Leea sambucina, merupakan tumbuhan pakan penting bagi Badak Jawa, sedangkan Arenga obtusifolia merupakan jenis tumbuhan yang diduga dapat mengancam ketersediaan tumbuhan pakan Badak Jawa karena penutupan tajuk jenis ini sangat rapat, sehingga menghambat penetrasi cahaya ke lantai hutan. Dari hasil analisis vegetasi juga diketahui terdapatnya kecenderungan bahwa jenis tumbuhan pakan badak Jawa yang penting tersebut mendominasi komunitas vegetasi bila di lokasi tumbuhnya tidak ditemukan langkap(Arenga obtusifolia) pada tingkat tiang dan pancang. Indikasi ini cukup mengkhawatirkan mengingat kemampuan invasi dan stabilitas regenerasi langkap yang tinggi. Hasil analisis vegetasi dari 25 unit contoh juga menunjukkan bahwa langkap termasuk jenis tumbuhan dominan di 20 lokasi, khususnya pada tingkat tiang, pancang dan atau semai.

1.10.4    Strategi Konservasi

Undang-undang nomor 4 tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Undang-Undang nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya telah menjadi acuan bagi tersusunnya Strategi Konservasi Badak Indonesia yang diwujudkan melalui Lokakarya Konservasi Badak Indonesia di Bogor pada tahun 1991.
Dalam strategi tersebut disebutkan bahwa sasaran yang hendak dicapai dalam konservasi badak di Indonesia adalah menciptakan kondisi yang mendukung bagi kehidupan jangka panjang populasi badak. Sedangkan tujuan dari strategi tersebut adalah memantapkan populasi badak di Indonesia dalam jumlah yang aman di seluruh habitat alaminya.
Untuk mewujudkan sasaran dan tujuan tersebut dirumuskan program-program berdasarkan skala prioritas sebagai berikut:
a.   Jangka Pendek
1.     Pemeliharaan dan perlindungan suaka-suaka badak (konservasi in-situ).
2.     Mengembangkan dan memantapkan lembaga khusus dalam PHPA (unit khusus konservasi badak Indonesia).
3.     Memulai program pendidikan dan kepedulian umum dengan sasaran seluruh lapisan masyarakat.
4.     Memperkuat usaha untuk menghentikan perdagangan gelap cula dan bagian tubuh badak lainnya.
5.     Membantu penangkaran populasi badak.
b.   Jangka Panjang
1.     Meningkatkan jumlah populasi badak dalam suaka alam melalui translokasi dan reintroduksi.
2.     Mengembangkan dan menggunakan populasi hasil penangkaran untuk reintroduksi dan sebagai jaminan (konservasi ex-situ).
3.     Menyediakan tenaga yang berpengetahuan dan terlatih untuk mengelola dan melindungi populasi badak.
1.10.11 Program Penunjang Keberhasilan Pelestarian Badak Jawa
Salah satu program penunjang keberhasilan pelestarian badak Jawa di dalam kawasan ini adalah program pengelolaan habitat Yang dilaksanakan secara hatihati dan bijaksana. Untuk menunjang keberhasilan pengelolaan habitat badak Jawa maka selunih komponen yang terkait, baik komponen fisik maupun biologis, yang saling berinteraksi di dalam habitat badak Jawa perlu dikaji dan ditelaah secara mendalam . Di dalam tulisan ini pengkajian komponen habitat akan ditekankan kepada komponen fisik Semenanjung Ujung Kulon yang bersifat khas (Rushayati, S. B., & Arief, H. 1997).
Kondisi fisik
a.      Iklim
Kondisi iklim atau cuaca dinyatakan dengan susunan nilai unsur fisika atmosfer yang terdiri dari : radiasi surya, suhu udara, kelembaban udara, presipitasi (embun, hujan, salju), evaporasi/evapotranspirasi, kecepatan dan arah angin, dan sebagainya.
b.      Ketersediaan air
Ketersediaan air di Ujung Kulon bagi badak Jawa bukan merupakan faktor pembatas kritis . Meskipun pada musim kemarau sebagian sungai mengalami kekeringan, air tersedia sepanjang tahun, terutama di S. Cigenter, S. Cibandawoh, S . Cibunar, S . Cijungkulon dan S. Citadahan . Daerah-daerah rawa yangberair payau di sepanjang pantai Laban hingga Citelang dapat dikatakan kurang sesuai bagi badak Jawa.
c.      Tanah
1.       Tanah-tanah yang berdrainase berlebihan (excessivelvdrained soil) .
2.       Tanah berdrainase yang sedikit berlehihan.
3.       Kelompok tanah berdrainase baik Tanah kambisol eutrik yang berkembang di atas tufa.
4.       Tanah-tanah yang berdrainase cukup baik Luvisol glevik yang berkembang di atas batu gamping atau bahan Hat.
5.       Tanah-tanah berdrainase agak buruk Luvial gleyik yang berkembang pada bahan liat .
6.       Tanah-tanah berdrainase buruk Fluvisol kalkarik yang berkembang pada pasir aluvial.
7.       Tanah-tanah berdrainase sangat buruk Fluvisol thionik yang berkembang pada berbagais sedimen aluvial.
d.      Kelembaban Udara
Kelembaban udara suatu tempat ditentukan oleh perbandingan kandungan uap air aktual dengan kapasitas udara untuk menampung uap air. Kandungan uap air aktual ditentukan oleh ketersediaan air serta energi (radiasi surya) untuk menguapkannya . Pada keadaan dimana uap air aktual relatif konstan, peningkatan suhu udara yang disebabkan peningkatan penerimaan radiasi surya akan menyebabkan peningkatan kemampuan udara untuk menampung uap air, sehingga mengakibatkan penunman kelembaban uadara (kelembaban nisbi) .

1.11    Konservasi Banteng
Sebagai satwa langka dan terancam kelestariannya maka pemerintah Indonesia  merasa perlu untuk melindungi banteng terutama dari kegiatan perburuan yang dilakukan  oleh para pemburu liar serta terdesaknya  banteng oleh pemukiman manusia. Hal ini didukung dengan telah adanya Undang-Undang yang mengatur akan hal tersebut, seperti Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Beserta Ekosistemnya, dinyatakan bahwa setiap orang dilarang untuk menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi.

1.11.1 Penurunan Populasi Banteng
Banteng pada saat ini terancam keberadaannya karena semakin meningkatnya perburuan liar, kerusakan habitat dan eksploitasi. Hal ini dikarenakan banteng merupakan jenis satwa liar yang memiliki nilai ekonomi yang cukup tinggi, selain dagingnya yang  menjadi perburuan masyarakat adalah kulit dan tengkorak, padahal keberadaan hidup jenis banteng sangat penting bagi ke mantapan ekosistem hutan di TNUK.  Selain beberapa permasalahan di atas,  beberapa temuan-temuan lapangan dari beberapa peneliti menunjukkan adanya indikasi persaingan badak jawa dan banteng. Hal ini dikarenakan pada kenyataannya kondisi habitat banteng dan badak jawa mempunyai kualitas dan kuantitas yang terbatas. Oleh karena itu diperlukan adanya kegiatan pengelolaan habitat dengan terlebih dahulu mengetahui karakteristik habitat yang diperlukan oleh banteng untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Tipe vegetasi yang dimanfaatkan oleh banteng sebagai habitat diantaranya terdiri atas padang penggembalaan, hutan dataran rendah, hutan pantai dan hutan alam.

1.11.2 Penyebaran
Berdasarkan Hoogerwerf (1970), wilayah  penyebaran banteng meliputi Myamnar,  Tahiland, Indocina, Semenanjung Malaya, dan Indonesia. Di Indonesia banteng tersebar  di beberapa daerah seperti Kalmantan, Bali dan Jawa.
1.11.3 Habitat
Menurut Alikodra (1990), habitat merupakan suatu tempat yang dapat memenuhi kebutuhan satwa yang digunakan untuk tempat mencari makan, minum, berlindung,  bermain, dan berkembangbiak. Habitat dapat dikelola, sehingga memenuhi kebutuhan tersebut. Menurut Yoakum dan Dasman (1971)  dalam Alikodra (1980), pengelolaan habitat merupakan kegiatan praktis dalam mengatur kombinasi faktor fisik dan biotik sehingga dicapai kondisi yang optimal bagi perkembangan populasi satwaliar. Menurut Alikodra (1983) dan Subroto (1996), tempat yang disukai dan merupakan komponen hidup banteng yang ideal adalah :
1.      Hutan primer yang berbatasan dengan padang rumput yang digunakan banteng sebagai tempat berlindung dari serangan predator atau pemburu, tempat beristirahat, tempat tidur serta tempat berkembangbiak.
2.      Padang rumput yang terletak pada daerah perbukitan sampai datar serta dibatasi oleh hutan alam primer ke arah darat dan hutan payau atau pantai ke arah laut. Padang rumput sebaiknya diselingi oleh tumbuhan seperti Sengon (Paraserianthes falcataria) dan jenis-jenis Palem.
3.      Padang rumput yang berdekatan dengan sumber air baik mata air, danau maupun sungai yang berair sepanjang tahun.
4.      Hutan payau sebagai daerah penyangga. Daerah penyangga berfungsi sebagai penghalang angin terutama tajuknya, untuk mencegah intrusi garam ke darat melalui perakarannya, sebagai tempat berlindung atau beristirahat, tempat bersarang dan tempat mencari makan satwa serta mempersulit pemburu masuk ke dalam habitat banteng dari arah laut.
5.      Air laut yang penting bagi kehidupan banteng, yaitu untuk membantu proses pencernaannya.




















DAFTAR PUSTAKA


Alikodra HS. 2013. Teknik Konservasi Badak Indonesia. Tangerang (ID). Literati.

Badak, T. P., & IPB, J. F. (1997). Panduan Pengelolaan Habitat Badak Jawa (Rhinoceros sondaicus Desmaest 1822) di Taman Nasional Ujung Kulon. Media Konservasi, 1-15.
Dunggio, I., & Gunawan, H. (2009). Telaah sejarah kebijakan pengelolaan taman nasional di Indonesia. Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan, 6(1).
Putro HR. 1997. Heterogenitas Habitat Badak Jawa (Rhinoceros sondaicus Desm. 1822) di Taman Nasional Ujung Kulon. Media Konservasi Edisi Khusus 17-40.
RAHMANINGSIH, M. D. (2013). Penyusunan Desain Wisata Minat Khusus Berdasarkan Pola Pergerakan Badak Jawa Di Taman Nasional Ujung Kulon (Doctoral dissertation, Tesis. Institut Pertanian Bogor, Bogor).
Rahmat, U. M., Santosa, Y., & Kartono, A. P. (2008). Analisis preferensi habitat badak jawa (Rhinoceros sondaicus, Desmarest 1822) di Taman Nasional Ujung Kulon. Jurnal Manajemen Hutan Tropika, 14(3), 115-124.
Rushayati, S. B., & Arief, H. (1997). Kondisi fisik ekosistem hutan di Taman Nasional Ujung Kulon. Media Konservasi Edisi Khusus, hlm, 67-74.
Santosa. 1995. Konsep Ukuran Keanekaragaman Hayati di Hutan Tropika. Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan, Fakultas Kehutanan IPB. Bogor
Supriatin. 2000. Studi Kemungkinan Adanya Pengaruh Alelopati Langkap (Arenga obtusifolia Blumme ex Mart) Terhadap Pertumbuhan Semai Tumbuhan Pakan Badak Jawa (Rhinoceros sondaicus Desmarest 1822) di Taman Nasional Ujung Kulon. [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Sriyanto, A., & Haryono, M. (1997). Pengelolaan, strategi dan rencana tindakan konservasi badak Jawa di Taman Nasional Ujung Kulon. Media Konservasi Edisi Khusus, 1997, 75-81.


Bagikan :
+
Previous
Next Post »
0 Komentar untuk "UAS KONSERVASI SPESIES"

 
Template By Kunci Dunia
Back To Top