KONSERVASI BIOLOGI
LAPORAN
PRAKTEK LAPANG TAMAN NASIONAL UJUNG KULON

Oleh:
SITI ROHMAH
NRP. 52165211656
PROGRAM DIPLOMA IV
JURUSAN TEKNOLOGI PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERAIRAN
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PENGOLAHAN SUMBERDAYA
SEKLAH TINGGI PERIKANAN
JAKARTA
2017
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kawasan Ujung Kulon merupakan salah satu
kawasan taman nasional terbesar di Jawa. Luas kawasan ini mencapai sekitar
120.551 hektar yang terdiri dari 76.214 hektar daratan dan 44.337 hektar laut. Taman
Nasional Ujung Kulon (TNUK) secara geografis terletakpada
102°02'32"-105°37'37" BT dan 06°30'43"-06°52'17" LS. Secara
administratif masuk dalam wilayah Kecamatan Sumur dan Cimanggu, Kabupaten
Pandeglang, Banten. Kawasan Ujung Kulon ditetapkan sebagai taman nasional pada
tahun 1992 melalui SK Menteri Kehutanan No. 284/kpts-II/1992 tanggal 26
Februari 1992 (UNEP, 1997; Balai Taman Nasional Ujung Kulon, 2005).
Wilayah pengelolaannya
meliputi Semenanjung Ujung Kulon, Pulau
Panaitan, Pulau Peucang, Pulau Handeuleum, dan Gunung Honje. Pulau
Peucang merupakan salah satu wilayah pengelolaan Taman Nasional Ujung Kulon
yang terletak di Kecamatan Sumur dan Cimanggu, Kabupaten Pandeglang dengan luas
± 450 Ha. Pulau Peucang dengan keragaman potensi wisata alam yang sangat
besar menjadi salah satu wilayah
prioritas pengembangan wisata alam di Taman Nasional Ujung Kulon.
Badak Jawa (Rhinoceros
sondaicus Desmarest 1822) merupakan spesies yang paling langka di antara 5
spesies badak yang ada di dunia sehingga dikategorikan sebagai critically
endangered atau terancam punah dalam Red List Data Book yang
dikeluarkan oleh IUCN (International Union for Conservation of Nature and
Natural Resources) tahun 1978 dan mendapat prioritas utama untuk
diselamatkan dari ancaman kepunahan. Selain itu, Badak Jawa juga terdaftar
dalam Apendiks I CITES (Convention on International Trade in Endangered Spesies
of Wild Fauna and Flora) tahun 1975. Jenis yang termasuk dalam Apendiks I
adalah jenis yang jumlahnya di alam sudah sangat sedikit dan dikhawatirkan akan
punah.
Secara alami Badak
Jawa tidak akan mampu mempertahankan eksistensinya dalam jangka panjang.
Eksistensi Badak Jawa juga dinilai sangat rawan terhadap terjadinya bencana
alam, degradasi habitat, inbreeding, penyakit, dan perburuan. Tanpa
tindakan pengelolaan yang tepat dan direncanakan secara matang untuk jangka
panjang, populasi Badak Jawa akan mengalami kepunahan. Selain itu, dinamika
ekosistem alam di habitat Badak Jawa diduga akan memberikan pengaruh negatif
terhadap eksistensi populasinya.
1.2 Tujuan
1.
Mengetahui
pengelolaan Taman Nasional Ujung Kulon.
2.
Mengetahui
keanekaragaman hayati yang terdapat di Taman Nasional Ujung Kulon.
3.
Mengetahui
upaya konservasi keanekaragaman hayati yang terdapat di Taman Nasional Ujung
Kulon.
4.
Mengetahui
tingkat kepunahan Badak Jawa.
5.
Mengetahui
tingkat pemahaman masyarakat sekitar kawasan Taman Nasional Ujung Kulon
mengenai konservasi keanekaragaman hayati.
1.3 Manfaat
1.3.1 Subjektif
Untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah
Biologi Konservasi di Jurusan Teknologi Pengelolaan Sumberdaya Peraian, Sekolah
Tinggi Perikanan Jakarta.
1.3.2
Objektif
Diharapkan dapat bermanfaat sebagai tambahan
ilmu pengetahuan dan wawasan baik bagi Taruna/i maupun bagi pembaca lainnya mengenai
pengelolaan Taman Nasional Ujung Kulon, keanekaragaman hayati, kepunahan Badak
Jawa, dan keadaan pemahaman masyarkat sekitar kawasan Taman Nasional Ujung
Kulon mengenai konservasi keanekaragaman hayati.
BAB II
METODE PRAKTEK
2.1 Waktu dan Tempat
Praktik dilaksanakan di wilayah Kantor Balai
Taman Nasional di Pandeglang, Kantor Balai Taman Nasional di Labuan,
dan sekitar area pesisir Pantai Sumur. Pelaksanaan pada tanggal 12 April 2017, pukul
04.30 WIB s/d 22.30 WIB.

2.2 Prosedur Kerja
1.
Persiapan
peta dasar dan penentuan lokasi.
2.
Persiapan
administrasi berupa pembuatan surat izin kegiatan praktek lapangan.
3.
Persiapan peralatan dan
perlengkapan.
Peralatan dan
perlengkapan dalam kegiatan praktek lapang konservasi biologi di Taman Nasional Ujung
Kulon adalah:
a. Sarana transportasi. Transportasi darat dapat menggunakan kendaraan
berupa bus STP Jakarta.
b. Peralatan dasar pribadi, seperti alat tulis, pakaian, dan kamera.
c. P3K (Pertolongan Pertama pada Kecelakaan), obat pribadi dan vitamin.
d. Makanan dan minuman.
4. Pemberian materi oleh staff balai Taman Nasional Ujung Kulon di
Pandeglang.
5. Pelaksanaan praktek lapangan di balai Taman Nasional Ujung Kulon.
6. Melakukan sosialisasi dengan masyarakat area pesisir Pantai Sumur.
7. Mengkompilasi semua data yang diperoleh
8. Membuat laporan praktek lapang Taman Nasional Ujung Kulon
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Deskripsi Singkat Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK)
Taman Nasional Ujung Kulon ditetapkan sebagai
Taman Nasional sejak tahun 1992 berdasarkan SK. Menteri Kehutanan No.
284/Kpts-II/1992 pada tanggal 26 Februari 1992. Selain itu pada tahun yang sama
kawasan ini ditetapkan sebagai World Herritage Site oleh Komisi Warisan Alam
Dunia Unesco dengan Surat Keputusan No. SC/Eco/5867 2409. Taman Nasional Ujung
Kulon merupakan hutan hujan tropis dataran rendah terluas di Pulau Jawa dengan
keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa yang cukup tinggi.
Semenanjung Ujung Kulon merupakan habitat
terakhir Badak Jawa (Rhinoceros sondaicus Desm) di dunia. Daerah ini
terletak di paling ujung Barat Pulau Jawa dan termasuk kedalam wilayah Daerah
Tingkat II Kabupaten Pandeglang, Jawa Barat . Luas daerah ini menunrt beberapa
ahli bervariasi antara 300 kin' - 411 km2. Pada Tahun 1980 daerah ini termasuk
kedalam Kawasan Taman Nasional Ujung Kulon, dimana taman nasional ini meliputi
daerah Semenanjung Ujung Kulon, Pulau Panaitan, Pulau Peucang, Cagar Alam
Gunung Honje dan daerah lautan di sekitarnya. Luas keseluruhan taman nasional
ini . dalah 57.500 ha (BLOWERdan ZON, 1978, dalam SADJUDIN, 1984). Lebih lanjut
pada tahun 1992 taman nasional ini ditetapkan sebagai Taman Warisan Dunia
(World Heritage Site) dikarenakan kawasan ini merupakan habitat Badak Jawa yang
paling memungkinkan (viable).
3.2 Keanekaragaman Hayati TNUK
Di kawasan Taman Nasional Ujung Kulon
terdapat habitat Badak Jawa (Rhinoceros sondaicus) dan banteng (Bos javanicus),
yang merupakan satwa langka dan dilindungi. Selain itu kawasan ini juga
memiliki beragam tipe ekosistem hutan yang di dalamnya menyimpan berbagai macam
sumber daya hayati flora dan fauna. Salah satunya adalah ekosistem mangrove.
Ekosistem mangrove merupakan sistem terbuka di mana terjadi pertukaran material
dan energi dari wilayah sekitar laut, perairan tawar dan ekosistem teresterial.
Selain ekosistem ini berfungsi sebagai tempat berpijah dan tempat asuhan
berbagai spesies ikan, udang dan biota lainnya serta merupakan habitat dari
berbagai spesies burung migran, mamalia dan reptile (Barnes, 1974).
Terkait
dengan keanekaragaman hayati khususnya ikan ekosistem mangrove di Jawa, data
yang pernah dilaporkan antara lain ikan di daerah mangrove Kepulauan Seribu,
yaitu Pulau Pari diperoleh 29 spesies ikan yang mewakili 18 famili, di Pulau
Tengah 33 spesies yang mewakili 19 famili, di Pulau Kongsi 29 spesies mewakili
29 famili, dan di Pulau Burung 32 spesies mewakili 21 famili (Adrim et al.,1982). Sedangkan data yang pernah
dilaporkan oleh Balai Taman Nasional Ujung Kulon (2005) bahwa di TNUK terdapat
55 spesies ikan. Namun informasi mengenai ikan pada ekosistem mangrove belum
diperoleh data yang akurat.
Taman Nasional Ujung Kulon memiliki beragam
jenis satwa liar baik bersifat endemik maupun penting untuk dilindungi. Secara
umum kawasan ini masih mampu menampung perkembangbiakan berbagai populasi satwa
liar. Beberapa jenis satwa endemik penting dan merupakan jenis langka yang
sangat perlu dilindungi adalah Badak Jawa (Rhinoceros
sondaicus), Owa Jawa (Hylobates
moloch), Surili (Presbytis
aigula) dan Anjing hutan (Cuon
alpinus javanicus).
Semenanjung Ujung Kulon pada saat ini
merupakan habitat terpenting dari Badak Jawa, yang populasinya diperkirakan ada
50-60 ekor, serta merupakan satu-satunya tempat di dunia dimana secara alami Badak
Jawa mampu berkembang biak pada dekade terakhir ini. Di taman nasional ini
diperkirakan ada sekitar 30 jenis mamalia, yang terdiri dari mamalia ungulata
seperti badak, banteng, rusa, kijang, kancil, dan babi hutan, mamalia predator
seperti macan tutul, anjing hutan, macan dahan, luwak dan kucing hutan, mamalia
kecil seperti walang kopo, tando, landak, bajing tanah, kalong, bintarung, berang-berang,
tikus, trenggiling dan jelarang. Diantara primata terdapat dua jenis endemik,
yaitu owa dan surili. Sedang jenis Primata lain adalah lutung (Presbytis cristata), kukang
(Nycticebus coucang) dan
kera ekor panjang (Macaca
fascicularis) mempunyai populasi yang cukup baik dan tersebar di
sebagian kawasan.
Banteng (Bos
javanicus) merupakan
binatang berkuku terbesar dan terbanyak jumlah populasinya (± 500 ekor). Satwa
ini hanya terdapat di Semenanjung Ujung Kulon dan Gunung Honje, serta tidak
dijumpai di Pulau Panaitan. Rusa (Cervus
timorensis) di Semenanjung Ujung Kulon dan Gunung Honje terdapat
dalam jumlah dan penyebaran yang sangat terbatas,dan di Pulau Peucang tedapat
dalam jumlah yang sangat banyak, dan di Pulau Panaitan menunjukan perkembangan
yang semakin banyak. Babi hutan (Sus
scrofa), muncak (Muntiacus
muntjak) dan pelanduk (Tragulus
javanicus) relatif umum terdapat di seluruh kawasan, tetapi celeng
(Sus verrucosus) hanya
di jumpai di Semenanjung Ujung Kulon dan Gunung Honje.
Adapun jumlah jenis flora
dan fauna yang diketahui sampai saat ini terdapat dalam tabel berikut:
Jenis
dan jumlah flora dan fauna di Taman Nasional Ujung Kulon
No.
|
Jenis
Potensi
|
Jumlah
Jenis
|
1.
|
Flora
|
700
jenis
|
2.
|
Fauna
|
|
a. Mamalia
|
35 jenis
|
|
b. Primata
|
5 jenis
|
|
c. Burung
|
240 jenis
|
|
d. Reptilia
|
59 jenis
|
|
e. Amphibia
|
22 jenis
|
|
f. Insecta
|
72 jenis
|
|
g. Pisces
|
142 jenis
|
|
h. Terumbu Karang
|
33 jenis
|
1.
Badak Jawa (Rhinoceros Sondaicus Desmarest,
1822)

Badak Jawa termasuk ke dalam golongan
binatang berkuku ganjil atau Perrisdactyla, mempunyai kulit tebal
berlipat-lipat seperti perisai dari bahan tanduk sehingga satwa ini kelihatan
seperti bongkah batu yang besar dan tubuhnya lebih besar dari Badak Sumatera (Dicerorhinus sumetrensis).
Cula Badak Jawa jantan biasanya lebih besar dari betinanya, dimana cula Badak
Jawa betina hanya berupa tonjolan di atas kepalanya (Veevers dan Carter, 1978;
Prawirosudirjo, 1975). Tinggi rata-rata Badak Jawa antara 140-175 cm.
Sedangkan panjang badannya 300 – 315 cm dan adapula yang pernah
ditemukan dengan panjang mencapai 392 cm. Tebal kulitnya 25 – 30 mm,
lebar kaki rata-rata 27-28 cm dan beratnya sekitar 2300 Kg. Panjang cula
diukur mengikuti lengkungnya bisa mencapai 48 cm (Hoogerwerf, 1970).
Penglihatan Badak Jawa tidaklah tajam, tapi pendengarannnya maupun penciumannya
sangat tajam. Badak dapat mengetahui adanya bahaya atau musuh yang kan
datang walaupun sesungguhnya bahaya atau musuh itu masih terpaut jarak jauh
dengan badak tersebut (Hoogerwerf, 1970; Prawirosudirjo, 1975). Kadang-kadang
badak sanggup untuk menempuh jarak 15 – 20 km dalam sehari, tetapi sebaliknya
sering berada beberapa hari dalam daerah yang tidak lebih dari 0,5 km2
(Hoogerwerf, 1970)
2. Banteng (Bos javanicus)

Banteng memiliki tubuh yang
tegap, besar dan kuat dengan bahu bagian depannya lebih tinggi daripada bagian
belakang tubuhnya. Di kepalanya terdapat sepasang tanduk. Pada banteng jantan
tanduknya berwarna hitam mengkilap, runcing dan melengkung ke arah medio
anterior, sedangkan pada banteng betina bentuk tanduknya lebih kecil. Pada
bagioan dadanya terdapat gelambir yang dimulai dari pangkal kaki sampai leher
tetap tidak mencapai daerah kerongkongan (Hoogerwerf, 1970). Menurut
Hoogerwerf (1970) banteng memiliki penciuman dan pendengaran yang sangat tajam
dibandingkan dengan penglihatannya. Legakul dan McNeely (1977) menyatakan bahwa
penglihatan banteng tidak begitu tajam sehingga kemampuan utamanya untuk
membedakan musuh-musuhnya tergantung pada kemampuan penciuman dan
pendengarannya. Oleh karena itu arah angin sangat penting bagi banteng utnuk
mempelajari kondisi lingkungannya.
Warna tubuh banteng
bervariasi dan dapat dipakai untuk membedakan jenis kelaminnya (Legakul dan
McNeely ,1977). Banteng jantan mempunyai warna tubuh hitam, semakin tua umurnya
semakin hitam warna tubuhnya. Banteng betina memiliki warna tubuh coklat
kemerah-merahan, semakin tua umurnya maka warna tubuhnya akan semakin gelap
(coklat tua). Pada anak banteng baik yang jantan maupun betina memiliki warna
tubuh sama yaitu berwarna coklat sehingga sulit dibedakan jenis kelaminnya.
Namun warna tubuh anak banteng baik jantan maupun betina lebih terang warna
tubuhnya dibanding tubuh banteng betina dewasa. Hoogerwerf (1970)
menyatakan pula bahwa tubuh banteng bervariasi menurut lokasinya. Banteng yang
berada di daerah Jawa Barat umumnya berwarna lebih hitam dibanding banteng yang
berada di daerah Jawa Timur yang berwarna lebih coklat. Hal ini kemungkinan
disebabkan oleh kondisi habitat dan iklim.
3.
Owa jawa (Hylobates moloch)

Owa Jawa merupakan salah satu primata di
Ujung Kulon yang mempunyai habitat di kawasan Gunung Honje. Mempunyai ekor
pendek, bulu halus berwarna abu-abu dan wajah hitam yang menyebabkan primata
ini dinamai owa. Owa merupakan satwa monogamy sekali kawin dalam hidupnya, dan
hidup dalam kelompok keluarga kecil yang terdiri dari seekor jantan, seekor
betina dengan satu atau lebih anak.satwa dewasa muda meninggalkan kelompoknya
untuk selanjutnya menjelajahi hutan untuk mencari pasangan hidup dan daerah
kekuasaan yang baru.
4. Macan tutul (Panthera pardus)
Mempunyai warna dasar bulu coklat muda
kekuning-kuningan dengan tutul hitam kecoklatan pada seluruh tubuhnya yang
terlihat amat jelas. Tutul-tutul umumnya mengelompok berupa bercak yang
tersusun merupakan kembangan. Panjang tubuhnya dapat mencapai 130 cm.
5. Penyu sisik (Eretmochelys imbricate)

Penyu sisik merupakan salah satu penyu
berukuran kecil.Bentuk kepalanya meruncing dan mempunyai dua pasang sisik
prefrontal (sisik yang berada di depan mata). Rahang tidak bergerigi, kerapas
bertulang tanpa sudut dan memiliki sisik yang bertimpa tindih dan mempunyai 4
sisik lateral.Kerapas berbentuk elips.Lengan depan (flipper) mempunyai dua buah
caka. Warna karapas pada umumnya coklat atau kuning, dan tukik yang baru
menetas kebanyakan berwarna coklat dengan bertotol coklat mudapada setiap
sisiknya. Ukuran dewasa sekitar 2,5 kaki sampai dengan 3 kaki (76-91 cm) pada
karapasnya. Berat badan dewasa bias mencapai 40-60 kg.
Paruh penyu sisik yang meruncing
memudahkannya untuk mencapai makanannyayang tersembunyi di dalam celah batu dan
terumbu karang. Mereka memakan spon, anemone, cumi-cumi dan udang. Habitatnya
biasa ditemukan di sekitar terumbu karang pesisir, daerah bebatuan, daerah
muara, bakau dan juga daerah goba.Penyu sisik bersarang (bertelur) dengan
selingan dua atau tiga tahun.Di setiap musimnya dapat bertelur dua hingga empat
kali . Sarang berisi kurang lebih 160 butir telur, dan masa inkubasinya selama
6 hari.
Status internasional terdaftar sebagai hewan
sangat langka Critically Endangered (menghadapi ancaman kepunahan yang tinggi
di alam bebas untuk waktu yang singkat) berdasarkan IUCN.
3.3 Spesies Badak Jawa
Badak jawa, atau badak bercula-satu kecil (Rhinoceros
sondaicus) adalah anggota famili Rhinocerotidae dan satu dari lima
badak yang masih ada. Klasifikasi dan
morfologi Badak jawa termasuk dalam golongan binatang berkuku ganjil
atau Perissodactyla. Menurut Lekagul & McNelly (1977), badak jawa
secara taksonomi dapat diklasifikasikan dalam kingdom animalia, phylum
chordata, sub phylum vertebrata, super kelas gnatostomata, kelas mammalia,
super ordo mesaxonia, ordo perissodactyla, super famili rhinocerotidea, family
rhinocerotidae, genus Rhinoceros Linnaeus 1758 dan spesies Rhinoceros
sondaicus (Desmarest, 1822).
Menurut Hoogerwerf (1970), panjang kepala
badak jawa mencapai 70 cm dengan rata-rata lebar kaki 27-28 cm, sedangkan
menurut Ramono (1973) ukuran tapak kaki diukur dari kuku-kuku yang paling luar
berkisar antara 23/25-29/30 cm. Berdasarkan hasil pengamatan visual di
lapangan, badak jawa memiliki bibir atas yang lebih panjang dari bibir bawah
dan berbentuk lancip menyerupai belalai pendek yang berfungsi untuk merenggut
makanan. Selain itu, individu badak jawa jantan mempunyai cula tunggal yang
tumbuh di bagian depan kepala yang sering disebut sebagai cula melati.
Hoogerwerf (1970) menyatakan bahwa panjang maksimum cula jantan 27 cm dan
panjang rata-rata cula jantan dewasa 21 cm. Individu badak jantan yang baru
berumur kira-kira 11 bulan sudah mempunyai cula sepanjang 5-7 cm.
Badak jawa dapat hidup selama 30-45 tahun di
alam bebas. Badak ini hidup di hutan hujan dataran rendah, padang rumput basah
dan daerah daratan banjir besar. Badak jawa biasanya menghindari manusia,
tetapi akan menyerang manusia jika merasa diganggu. Berdasarkan penelitian,
spesies badak jawa lebih sedikit dipelajari daripada spesies badak lainnya.
3.4 Status Spesies, Habitat dan Tingkat Kepunahan Badak Jawa
3.4.1 Jumlah Individu
Pada
saat ini, Semenanjung Ujung Kulon (39.200 ha) merupakan satu-satunya habitat
bagi populasi Badak Jawa yang "viable" di dunia. Secara umum vegetasi
di Semenanjung Ujung Kulon dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu: manusia dan
letusan Gunung Krakatau (1883); hutan primer yang tersisa hanya ditemukan di
Gunung Payung dan sebagian kecil puncak Telanca (Amman,1985;Hommel,1987),
sedangkan sisanya merupakan vegetasi sekunder.
Populasi Badak Jawa di Taman Nasional
Ujung Kulon hanya tersebar di Semenanjung Ujung Kulon, khususnya pada dataran
rendah yang rimbun dengan semak dan perdu yang rapat. Penyebaran satwa tersebut
seakan membentuk daerah-daerah konsentrasi badak yang diketahui mengalami
pergeseran dari waktu ke waktu.
Suatu fenomena yang cukup
menarik, sejak bulan Desember 1996 pada bagian selatan dari kawasan Gunung
Honje (blok Kalejetan) telah dihuni kembali oleh dua ekor Badak Jawa. Dimana
berdasarkan hasil monitoring diketahui bahwa sejak tahun 1992 kawasan tersebut
tidak lagi dihuni oleh satwa tersebut. Hasil penelitian yang dilakukan oleh
Haryono(1996).
Menurut Hoogerwerf (1970)
sejak melakukan penelitian pada tahun 1937, populasi Badak Jawa menunjukkan
pertumbuhan dan penurunan jumlah dari tahun ke tahun. Ketika Schenkel memulai
penelitian dan program konservasi Badak Jawa pada tahun 1967 menaksir populasi
satwa tersebut tinggal 25 ekor (Hommel,1990). Dari hasil inventarisasi oleh
petugas PHPA dan beberapa peneliti, sejak tahun 1967 sampai tahun 1982 populasi
Badak Jawa meningkat sampai dua kali lipat. Namun sejak tahun 1982 sampai saat
ini jumlah populasi Badak Jawa cenderung berfluktuasi naik turun, dan populasi
saat ini terdapat 63 ekor Badak Jawa.
3.4.2 Kondisi Habitat
Habitat terpilih
mampu menyediakan seluruh kebutuhan hidup Badak Jawa untuk menjamin kelestarian
populasi serta memiliki frekuensi penggunaan yang tinggi. Kebutuhan hidup bagi
Badak Jawa terdiri atas makanan, air, udara bersih, garam mineral, tempat
berlindung, berkembang biak, berkubang, dan mengasuh anak. Untuk menjamin
kelestarian populasi Badak Jawa maka habitat terpilih harus memiliki kualitas
tinggi dan kuantitas yang mencukupi.
Penggunaan ruang oleh Badak
Jawa di TNUK diduga secara tidak acak, yaitu hanya berada pada tempat tertentu
yang mengindikasikan adanya preferensi berdasarkan ruang habitat. Hal ini
menyebabkan peluang menemukan Badak Jawa secara langsung sangat kecil. Dengan
demikian perlu dirumuskan preferensi habitat dalam rangka manajemen populasi
dan habitat Badak Jawa. Sehubungan dengan hal tersebut, perlu dilakukan
penelitian preferensi habitat Badak Jawa di TNUK. Preferensi habitat ini
merupakan resultan dari faktor-faktor fisik dan biotik lingkungan dan membentuk
satu kesatuan yang dipilih oleh Badak Jawa sebagai habitat dengan penggunaan
intensif.
Tersedianya data dan informasi
tentang faktor-faktor dominan komponen habitat dapat mendorong upaya
pelestarian populasi Badak Jawa melalui manipulasi habitat. Selain itu,
informasi yang diperoleh dapat digunakan sebagai dasar pembinaan habitat dalam
rangka konservasi insitu Badak Jawa, penentuan metode inventarisasi Badak Jawa
yang akurat, bahan pertimbangan dalam penentuan lokasi habitat kedua bagi Badak
Jawa, dan menjadi dasar penentuan zonasi TNUK.
Kegiatan pembinaan habitat
yang telah dilakukan oleh Taman Nasional Ujung Kulon adalah berupa uji coba
pemangkasan dan penanaman kembali jenis-jenis tumbuhan pakan badak pada
beberapa lokasi di Semenanjung Ujung Kulon. Selain itu sejak tahun 1991 sedang
diteliti teknik pengelolaan habitat Badak Jawa yang dilakukan bekerjasama
dengan Fakultas Kehutanan IPB.
Secara lebih
spesifik, habitat Badak Jawa meliputi seluruh komponen lingkungan yang
mempengaruhinya dan secara fungsional memberikan pakan, air dan perlindungan.
Heterogenitas habitat yang menyangkut variabilitas komponen vegetasi di Taman
Nasional Ujung Kulon yang peranannya sangat penting bagi kelangsungan hidup
Badak Jawa, baik sebagai sumber pakan maupun perlindungan. Deskripsi vegetasi
berikut disarikan dengan mengacu pada hasil-hasil penelitian yang dilakukan
dalam rangkaian penelitian mengenai Pilot Project Pengelolaan Habitat Badak
Jawa di Taman Nasional Ujung Kulon (Muntasib, dkk.,1991-1996)dan beberapa
literatur yang relevan.
3.4.3 Tingkat Kepunahan
Badak Jawa (Rhinoceros sondaicus Desmarest 1822) merupakan
spesies yang paling langka di antara 5 spesies badak yang ada di dunia sehingga
dikategorikan sebagai critically endangered atau terancam punah dalam Red
List Data Book yang dikeluarkan oleh IUCN (International Union for
Conservation of Nature and Natural Resources) tahun 1978 dan mendapat
prioritas utama untuk diselamatkan dari ancaman kepunahan. Selain itu, Badak
Jawa juga terdaftar dalam Apendiks I CITES (Convention on International
Trade in Endangered Spesies of Wild Fauna and Flora) tahun 1975. Jenis yang
termasuk dalam Apendiks I adalah jenis yang jumlahnya di alam sudah sangat
sedikit dan dikhawatirkan akan punah.
3.4.4
Tantangan Pelestarian
Menurut staff
peayanan Taman Nasional Ujung Kulon, Bapak Asep Yayuz tantangan yang didapatkan
dalam peestarian spesies Badak Jawa yaitu terdapatnya ancaman penyakit yang
mengganggu kelangsungan hidup Badak Jawa.
Banyak masalah yang dihadapi dalam upaya
melestarikan keanekaragaman hayati Indonesia untuk pembangunan nasional, baik
berasal dari pemerintah, pengusaha,
masyarakat dan lain-lain. Dalam melaksanakan tugas sektornya, setiap pihak
dalam pemerintahan seringkali memerlukan sumber daya alam hayati, sehingga muncul perbedaan kepentingan. Tumpang tindih
minat ini menjadi lebih rumit apabila
unsur kepentingan masyarakat tradisional dan tekanan ekonomi diperhitungkan.
Di sisi lain, ilmu pengetahuan dan
teknologi di Indonesia belum memadahi untuk menangani pemanfaatan/pelestarian keanekaragaman hayati
secara seimbang, apalagi mengembangkan
potensi ini secara optimal.
3.5 Upaya Konservasi Badak Jawa dan Habitatnya
3.5.1 Monitoring Populasi Badak Jawa
Kegiatan pengamanan terhadap
Badak Jawa dan upaya perlindungan terhadap kondisi habitat alami satwa tersebut, merupakan
rutinitas yang sangat penting dalam monitoring
konservasi Badak Jawa yang dilakukan oleh Taman Nasional Ujung
Kulon.
Walaupun kegiatan perburuan
badak telah menurun secara drastis pada dekade terakhir ini, namun kewaspadaan
terhadap ancaman perburuan perlu terus dipelihara untuk mengantisipasi masih
adanya jalur-jalur illegal pemasaran cula atau bagian-bagian tubuh lain dari
satwa tersebut. Untuk pelaksanaan pengamanan satrwa badak dan perlindungan
kondisi habitatnya di Semenanjung. Ujung Kulon telah dibangun lima buah pos
pengamanan dengan menempatkan sebanyak 30 tenaga jagawana. Dalam melaksanakan
tugasnya mereka mengadakan patroli harian pada wilayah kerja masing-masing
khususnya pada jalur jalur yang dianggap rawan, sekaligus melakukan pemantauan
terhadap satwa-satwa lain yang ditemui.
Monitoring Populasi untuk
mengetahui populasi Badak Jawa dari waktu ke waktu telah dilakukan pemantauan
dengan Media Konservasi Edisi Khusus, 1997 cara melakukan inventarisasi secara
rutin. Dari hasil inventarisasi tersebut didapatkan informasi berupa taksiran
jumlah individu, struktur populasi, penyebaran, serta keadaan habitat dan jenis
satwa lain. Disamping menggunakan metoda perhitungan jejak, pada tahun
1992-1993 telah pula dilakukan inventarisasi dengan menggunakan Camera
Trapping. Hasil inventarisasi dengan metoda tersebut dinilai memberi hasil yang
lebih akurat dan autentik walaupun memerlukan waktu dan biaya yang cukup besar.
Kepala balai TNUK Banten
Mochamad Haryono mengatakan, monitoring yang dilakukan TNUK dengan menggunakan
seratus video kamera jebak yang dimulai sejak Januari hingga Desember 2014,
total populasi Badak Jawa diperkirakan tinggal 57 ekor yang terdiri dari 31
jantan dan 26 betina.
Dari tahun 2011-2013
jumlahnya terdapat 60 ekor, lalu 2014 terekam terdapat satu individu baru.
Komposisi ini tidak ideal, seharusnya satu jantan empat betina. Ini yang menyebabkan
proses perkembangannya menjadi lamban, “ ujar Haryono saat Ekpose Hasil
Monitoring Populasi Badak Jawa Tahun 2014, di Pendopo Gubernur Banten, 7 Juli
2015. Menurut Haryono, informasi mengenai demografi Badak Jawa merupakan
parameter yang sangat penting dalam upaya melestarikan satwa langka tersebut.
3.5.2 Perlindungan Habitat
Habitat terpilih mampu menyediakan seluruh
kebutuhan hidup badak jawa untuk menjamin kelestarian populasi serta memiliki
frekuensi penggunaan yang tinggi. Kebutuhan hidup bagi badak jawa terdiri atas
makanan, air, udara bersih, garam mineral, tempat berlindung, berkembang biak,
berkubang, dan mengasuh anak. Untuk menjamin kelestarian populasi badak jawa
maka habitat terpilih harus memiliki kualitas tinggi dan kuantitas yang mencukupi.
Penggunaan ruang oleh badak jawa di TNUK
diduga secara tidak acak, yaitu hanya berada pada tempat tertentu yang
mengindikasikan adanya preferensi berdasarkan ruang habitat. Hal ini
menyebabkan peluang menemukan badak jawa secara langsung sangat kecil. Dengan
demikian perlu dirumuskan preferensi habitat dalam rangka manajemen populasi
dan habitat badak jawa. Sehubungan dengan hal tersebut, perlu dilakukan
penelitian preferensi habitat badak jawa di TNUK. Preferensi habitat ini
merupakan resultan dari faktor-faktor fisik dan biotik lingkungan dan membentuk
satu kesatuan yang dipilih oleh badak jawa sebagai habitat dengan penggunaan
intensif.
Tersedianya data dan informasi tentang
faktor-faktor dominan komponen habitat dapat mendorong upaya pelestarian populasi
badak jawa melalui manipulasi habitat. Selain itu, informasi yang diperoleh
dapat digunakan sebagai dasar pembinaan habitat dalam rangka konservasi insitu
badak jawa, penentuan metode inventarisasi badak jawa yang akurat, bahan
pertimbangan dalam penentuan lokasi habitat kedua bagi badak jawa, dan menjadi
dasar penentuan zonasi TNUK.
Kegiatan perlindungan
habitat yang telah dilakukan oleh Taman Nasional Ujung Kulon adalah berupa uji
coba pemangkasan dan penanaman kembali jenis-jenis tumbuhan pakan badak pada beberapa lokasi di Semenanjung Ujung
Kulon. Selain itu sejak
tahun 1991 sedang diteliti teknik pengelolaan habitat Badak Jawa yang dilakukan bekerjasama
dengan Fakultas Kehutanan IPB.
3.5.3 Monitoring Kesehatan
Badak Jawa saat ini sedang
terancam kepunahan. Populasi Badak Jawa di Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK)
yang ada saat ini sangat sedikit yaitu 63 ekor. Hasil survey penyakit yang
dilakukan pada tahun 2014 menunjukkan nilai prevalensi trypanosomiasis sebesar
90% pada kedua desa penyangga yang berbatasan langsung dengan TNUK yaitu Desa
Rancapinang dan Desa Ujung Jaya.
Trypanosomiasis adalah
penyakit infeksius yang disebarkan oleh
vektor mekanis. Lalat Tabanidae merupakan vektor mekanis dari trypanosomiasis
yang umum ditemukan di kedua desa penyangga tersebut. Penelitian ini bertujuan
untuk mempelajari keanekaragaman spesies Tabanidae yang terdapat di kedua desa
penyangga TNUK sebagai dasar pengendalian trypanosomiasis pada badak.
Pengambilan sampel dilakukan sebanyak 6 kali pada bulan Januari –Juli 2016 di
Desa Rancapinang dan Desa Ujung Jaya menggunakan NZI trap pada 3 titik di
setiap desa selama 5-10 hari koleksi. Lalat tabanidae yang terkoleksi selama
penelitian sebanyak 32 spesies. Terdapat 5 spesies dominan selama periode
penangkapan yaitu Tabanus megalops, Tabanus striatus, Tabanus tristis, Tabanus
rubidus dan Haematopota truncata. Sampel terbanyak diperoleh pada penangkapan
ke-3 yang diikuti dengan tingginya curah hujan pada periode ini. Tabanus
megalops merupakan spesies yang paling mendominasi populasi lalat Tabanidae di
kedua desa dengan jumlah pengoleksian tertinggi.
Pola jumlah populasi
berdasarkan curah hujan dapat dijadikan acuan dalam pengendalian lalat sebagai
vektor trypanosomiasis. Oleh karena itu,
resiko kepunahan Badak Jawa cukup besar akibat potensi kemunculan penyakit
infeksius yang di transmisikan oleh Tabanus
dari kerbau dan banteng.
3.6 Peran Serta Masyarakat Dalam Pengelolaan TNU
3.6.1 Tantangan TNUK dalam era perkembangan modern
Tantangan TNUK dalam era perkembangan modern
menurut (Sriyanto,1997) :
1.
Adanya
berita tantang kerusuhan, kebakaran hutan, dan kondisi lain yang kurang baik di
Indonesia cukup menjadi komoditas yang laku dijual oleh negara-negara yang
kurang senang dengan Indonesia. Contoh kasus berita tentang kebakaran hutan di
Kalimantan dan kerusuhan tanggal 13-14 Mei 1998, diberitakan setiap saat oleh
siaran Amerika dan Eropa sehingga cukup pengaruh bagi pasar wisata, bahkan pada waktu itu, beberapa negara potensial
melarang warganya berkunjung ke Indonesia (Kedaulatan Rakyat, 6 Agustus
1998:5). Hal ini merupakan tantangan bagi Indonesia untuk segera menciptakan
keamanan. Keamanan merupakan hal yang mutlak dibutuhkan oleh wisatawan baik
dari dalam maupun luar negeri. Diharapkan adanya kerjasama yang baik antara
pemerintah dengan seluruh komponen bangsa dalam menciptakan keamanan.
2.
Sistem
informasi yang kurang memadahi juga tantangan yang perlu mendapat perhatian
serius dalam pengelolaan pariwisata. Akibat sistem informasi yang kurang
memadahi pandangan dunia terhadap Indonesia menjadi miring, celakanya lagi
ketika Jakarta atau daerah - daerah tertentu rusuh, dunia menganggap bahwa
seluruh Indonesia rusuh sehingga mengeluarkan larangan berkunjung ke Indonesia.
Untuk itu maka diperlukan suatu sistem informasi yang profesional, mantap
visinya serta terampil dan cekatan dalam gerak langkahnya.
3.
Masalah
SDM merupakan tantangan yang cukup berat bagi pengembangan pariwisata, karena
SDM sangat menentukan segala sesuatu yang perhubungan dengan pariwisata.
Pariwisata sangat mementingkan profesionalisme baik dalam pengelolaan investasi
maupun dalam bidang perhotelan, transportasi, komunikasi dan informasi. Selain
itu, walaupun pariwisata telah membuka peluang pasar bagi sektor-sektor lain,
akibat dari rendahnya SDM peluang tersebut tidak dapat dimanfaatkan secara
optimal. Akibat rendahnya SDM dan kurangnya modal dalam negeri akan membuka
kemungkinan bahwa pariwisata akan dikuasai oleh pihak asing yang memiliki SDM
yang lebih baik dan lebih siap dari segi modal. Untuk itu dibutuhkan upaya-upaya
khusus untuk menghindari hal tersebut.
Tantangan pengelolaan Badak Jawa saat ini
sangatlah besar. Selain jumlah populasinya yang kecil (± 60 ekor), badak jawa
menghadapi resiko alamiah berupa:
1.
Penurunan
genetic dan demografi.
2.
Gempa
bumi dan tsunami
3.
Pengurangan
habitat satwa akibat tekanan aktivitas manusia.
4.
Pengaruh
perubahan iklim.
3.6.2 Peluang Pengembangan TNUK Sebagai Destinasi
Wisata Alam
Yang
dimaksud dengan strategi pengembangan yaitu upaya yang dilakukan dengan tujuan
memajukan, memperbaiki, dan meningkatkan kondisi kepariwisataan suatu
obyek dan daya tarik wisata sehingga mampu menjadi mapan dan ramai untuk
dikunjungi oleh wisatawan serta mampu memberikan suatu manfaat baik bagi
masyarakat di sekitar obyek dan daya tarik dan lebih lanjut akan menjadi
pemasukan bagi pemerintah.
Adapun
beberapa hal yang dapat menjadi peluang bagi pengembangan pariwisata di Taman
Nasional Ujung Kulon adalah sebagai berikut :
1.
Memiliki
banyak Pulau yang masih sangat asri seperti : Pulau Panaitan adalah sebuah pulau yang terletak paling barat di
Ujung Semenanjung Kawasan Taman Nasional Ujung
Kulon yang
dipisahkan oleh sebuah selat sempit. Pulau Panaitan merupakan pulau yang tidak
kalah menariknya dengan Pulau Peucang.
Pulau dengan luas ± 17.000 Ha ini memiliki berbagai potensi obyek wisata alam yang sangat menarik untuk dikunjungi. Pulau Handeuleum terletak di antara gugusan pulau-pulau
kecil yang berada di ujung timur laut pantai Semenanjung Ujung
Kulon. Luas Pulau Handeuleum ± 220 Ha. Di Pulau ini terdapat satwa
rusa (Rusa timorensis), dan ular phyton. Pulau ini dikelilingi oleh hutan
mangrove. Gunung honje merupakan salah satu wilayah Taman
Nasional Ujung Kulon. Luas wilayah Gunung Honje ± 19.500 Ha dan disekitarnya
dikelilingi oleh 19 (sembilan belas) desa penyangga baik yang berbatasan
langsung maupun tidak langsung. Salah satu desa yang menjadi pintu gerbang
masuk ke Taman Nasional Ujung Kulon adalah Desa Tamanjaya.
2.
Adanya
kecenderungan pihak wisatawan asing untuk berwisata dalam dimensi tradisonal,
seperti mengunjungi desa-desa yang memiliki keunikan baik untuk sekedar
mengunjungi maupun untuk wisata ilmiah.
3.
Adanya
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), transportasi, komunikasi
dan informasi yang terus meningkat dapat membuka peluang bagi pengembangan
pariwisata. Walaupun mungkin kondisi Iptek, transportasi, dan lain-lain
tersebut, saat ini belum memadai tetapi kecenderungan kemajuan telah memberikan
kemungkinan bahwa di waktu yang akan datang, akan lebih baik. Dengan kemajuan
komunikasi, transportasi dan informasi serta semakin maraknya pembangunan
lembaga-lembaga pendidikan pariwisata di seluruh Inodensia, diharapkan dapat
mempersiapkan SDM yang lebih baik serta membuka peluang yang luas untuk
bekerjasama dengan berbagai pihak di dalam dan di luar negeri, terutama antara
antara DTW dengan negara-negara yang potensial.
BAB IV
KESIMPULAN
Berdasarkan
pembahasan yang diperoleh dari hasil praktek lapang Taman Nasional Ujung Kulon
dapat disimpulkan:
1.
Pada
tahun 2014 diketahui jumlah Badak Jawa 57 individu, dan pada tahun 2017 total Badak Jawa 63 individu. Peningkatan
jumlah individu ini membuktikan bahwa upaya konservasi berbasis spesies perlu
dilakukan untuk meningkatkan populasi Badak Jawa.
2.
Perlunya
penyelamatkan keanekaragaman hayati khususnya Badak Jawa yang ada di Taman
Nasional Ujung Kulon beserta habitatnya dengan di dukung oleh semua pihak baik
pemerintah maupun masyarakat.
3.
Hasil
analisis tumbuhan pakan badak jawa dan banteng yang teridentifikasi selama
penelitian di Semanjung Ujung Kulon sebanyak 109 jenis, dimana 97 jenis
tumbuhan merupakan pakan badak jawa, dan 74 tumbuhan merupakan pakan banteng
sementara 62 jenis tumbuhan merupakan pakan overlap badak jawa dan banteng.
4.
Zona
penyebaran jejak badak jawa tumbuhan yang mempunyai nilai palatabilitas
tertinggi dan paling disukai dan sayar, sedangkan pada daerah overlap sulangkar
merupakan pakan yang paling disukai oleh badak jawa dan sayar adalah jenis
pakan yang disukai oleh banteng.
5. Kurangnya pengetahuan
dan pemahaman masyarakat area pesisir Pantai Sumur mengenai konservasi
keanekaragaman hayati di kawasan Taman Nasional Ujung Kulon.
BAB V
PERSANTUNAN
Puji
syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat-Nya. Ucapan terima kasih penulis
sampaikan kepada semua pihak yang telah membantu memperlancar dalam praktek
hingga terselesaikannya laporan ini, diantaranya:
1. Bapak
Nasirin selaku Ketua BAPPL STP Serang
2.
Ibu Maria Goreti Eny K., S.St.Pi., M.Mpi., selaku Ketua Jurusan
Teknologi Pengelolaan Sumberdaya Perairan
3.
Bapak Heri Triyono, A.Pi., M.Kom., selaku Ketua Program Studi Teknologi
Pengelolaan Sumberdaya Perairan dan selaku Dosen Ekologi Perairan
4.
Bapak Kadarusman S.Pi., DEA.,M.Sc.,Ph.D selaku dosen pembimbing dalam
praktikum serta penyelesaian laporan yang telah banyak membantu dalam berbagai
hal kepada kami, meskipun dalam kesibukan yang tinggi tetap menyediakan waktu
untuk membimbing, serta memberikan motivasi kepada kami menyelesaikan laporan
praktikum ini yang beliau lakukan dengan penuh dedikasi, kepakaran serta
kesabaran yang luar biasa.
Penulis
berharap semoga laporan ini dapat mendatangkan manfaat bagi banyak pihak. Tak
lupa penulis mohon maaf atas segala kekurangan dalam penyusunan laporan ini.
Serang, Mei 2017
Penulis
DAFTAR PUSTAKA
Badak,
T. P., & IPB, J. F. (1997). Panduan
Pengelolaan Habitat Badak Jawa (Rhinoceros sondaicus Desmaest 1822) di Taman
Nasional Ujung Kulon. Media Konservasi, 1-15.
Dunggio,
I., & Gunawan, H. (2009). Telaah
sejarah kebijakan pengelolaan taman nasional di Indonesia. Jurnal
Analisis Kebijakan Kehutanan, 6(1).
HARYONO,M.,
J SUGARJ1TO, PM. GIAO,W. DUNG, NG. X. DANG. 1993. Report Rhinoceros sondaicus) Survey in Vietnam. World Wide Fund For Nature, Jakarta.
Putro
HR. 1997. Heterogenitas Habitat Badak
Jawa (Rhinoceros sondaicus Desm. 1822) di Taman Nasional Ujung Kulon. Media
Konservasi Edisi Khusus 17-40.
RAHMANINGSIH,
M. D. (2013). Penyusunan Desain Wisata Minat Khusus Berdasarkan Pola Pergerakan Badak
Jawa Di Taman Nasional Ujung Kulon (Doctoral dissertation,
Tesis. Institut Pertanian Bogor, Bogor).
Rahmat,
U. M., Santosa, Y., & Kartono, A. P. (2008). Analisis preferensi habitat badak jawa (Rhinoceros sondaicus, Desmarest
1822) di Taman Nasional Ujung Kulon. Jurnal Manajemen Hutan Tropika,
14(3), 115-124.
Rushayati,
S. B., & Arief, H. (1997). Kondisi
fisik ekosistem hutan di Taman Nasional Ujung Kulon. Media Konservasi
Edisi Khusus, hlm, 67-74.
Santosa.
1995. Konsep Ukuran Keanekaragaman Hayati di Hutan Tropika. Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan,
Fakultas Kehutanan IPB. Bogor
Supriatin.
2000. Studi Kemungkinan Adanya Pengaruh
Alelopati Langkap (Arenga obtusifolia Blumme ex Mart) Terhadap Pertumbuhan
Semai Tumbuhan Pakan Badak Jawa (Rhinoceros sondaicus Desmarest 1822) di Taman
Nasional Ujung Kulon. [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Sriyanto,
A., & Haryono, M. (1997). Pengelolaan,
strategi dan rencana tindakan konservasi badak Jawa di Taman Nasional Ujung
Kulon. Media Konservasi Edisi Khusus, 1997, 75-81.
Thohari M et al. 1995. Genetika
Populasi Gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus) dan Konsep Pengelolaan
Populasinya Secara Lestari. Media
Konservasi 4(4): 209-221.
Usmadi, D., Hikmat, A., Witono, J. R., & Prasetyo, L. B.
(2016). Populasi dan Kesesuaian Habitat
Langkap (Arenga obtusifolia Mart.) di Cagar Alam Leuweung Sancang, Jawa Barat. Jurnal Biologi Indonesia, 11(2).
0 Komentar untuk "Laporan Taman Nasional Ujung Kulon"